Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Ini Bantahan Direktur RS Fatmawati (5)

MI/Nat/T-2
13/2/2015 00:00
Ini Bantahan Direktur RS Fatmawati (5)
HIV-AIDS(Ilustrasi)

PENGANTAR: Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) kerap dianggap sebagai penyakit mematikan, menular, dan tidak dapat disembuhkan. Perkembangan teknologi medis telah memastikan penggunaan antiretroviral dapat menekan virus sehingga menekan peluang penularan dari orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Berikut penelusuran wartawan Metro TV dan Media Indonesia terhadap penanganan penderita HIV/AIDS. Ini merupakan laporan ke lima.
 

SEORANG perempuan pengidap HIV mempersoalkan sejumlah langkah penanganan kelahiran bayinya oleh tim medis di Rumah Sakit (RS) Fatmawati. Di mana, ibu yang telah melahirkan anak ketiga itu mengaku kecewa lantaran tidak bisa melahirkan anaknya secara normal dan tidak bisa menyusui sang bayi. Belum lagi sejumlah dugaan diskriminasi yang dia alami seperti ruangan khusus bagi dirinya dan sang bayi.


Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai sikap dari RS Fatmawati, wartawan Media Indonesia Anata Syah Fitri Siregar mewawancarai Direktur Medis dan Perawatan (Director of Medical and Nursing) RSUP Fatmawati dr Lia G Partakusuma, SpK(K), MM, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut petikannya.

Seperti apa kebijakan RS Fatmawati terkait penerapan program Penguatan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA)?
Sejak 2004, kami sudah melaksanakan program itu secara aktif. Kami juga punya pedoman nasional yang menyatakan pencegahan HIV harus terintegrasi mulai dari pasien datang memeriksakan kandungan, penyuluhan, sampai akhirnya kami memberikan masukan bagaimana cara melahirkan dan merawat anak. Kami kan punya pelayanan namanya Wijaya Kusuma. Ini tempat yang memang kami khususkan, pasien-pasien ODHA akan datang ke sana untuk konsultasi. Di sana bahkan kami bisa program, ibu hamil melahirkan itu bagaimana. Jadi kalau sudah yakin, kami sudah ikuti dengan baik dan lihat oke, dia memang bisa dengan persalinan lewat jalan lahir atau apa, kami akan arahkan.

Apakah RS Fatmawati memandang pasien OHDA tidak bisa melahirkan secara normal?
Ada tiga faktor yang berperan, yaitu faktor ibu, bayi, dan obstetrik. Faktor ibu adalah kondisi waktu dia hamil seperti apa perjalanan penyakitnya, tidak hanya kami beri obat saja. Kondisi baik itu kondisi viral load seperti apa, CD4-nya bagaiamana. Kedua faktor bayi, ini seberapa besar bayinya. Lalu faktor obstetrik. Di sini disebutkan, risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan bedah caesar. Itu ada di dalam Permenkes 51/ 2013. Berarti bukan tidak ada risiko. Kalau anda sedang hamil, membaca ini, mana yang mau dipilih? Tentu dokter kami di kebidanan mempertimbangkan ini.

Jadi penerapan PPIA di RS Fatmawati sudah sesuai aturan WHO terbaru dan Permenkes?
 Iya, wong yang buat programnya juga Kemenkes. Ya di sini dikatakan boleh lahir lewat jalan vaginam kalau di kondisi di mana fasilitas kesehatan tidak bisa seksio, tapi kan bukan berarti nol persen. risiko tetap ada kalau lewat vaginam yaitu 2-4%. Dan kalau di sini kan kami fasilitas kesehatan lengkap, potensi infeksi minim, jadi minim risiko komplikasi sesudah operasi.

Bukankah bila pasien yang sudah mengonsumsi ARV membuat virus undetect dan bisa melahirkan normal ?
Dikatakan dalam Permenkes 51/2013, ibu dengan jumlah sel CD-4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayi. Semakin rendah CD-4, risiko semakin besar. Lalu jumlah HIV, bagaimana tingkat viral load kalau di atas 100 ribu copy, risikonya tinggi. Kalau di bawah 1.000 copy, risiko penularanya turun jadi rendah, tapi bukan tidak ada risiko. Kami tidak bisa tutup mata risiko orang melahirkan melalui jalan lahir dikatakan dalam literatur manapun 2-4% lebih tinggi. Artinya punya risikolah 2-4%. Lalu kenapa sih ada yang dianjurkan per vaginam? Itu karena di satu fasilitas itu belum tentu ada fasilitas seksio, tidak semua RS mampu. Lalu biaya mahal untuk mereka yang harus membayar. Jadi kalau di tempat yang tidak ada fasilitas seksio, ya per vaginam atau lewat jalan lahir itu. Jadi pertimbangannya dokter. Itu by case.

Untuk kasus pasien yang menceritakan kasusnya, mengapa tidak boleh melahirkan secara normal?
Jadi perlu kami sampaikan, tidak ada pemaksaan dari rumah sakit untuk harus lahir lewat seksio. Dia kan awalnya tidak periksa kandungan di RS Fatmawati, baru di ujungnya saja. Dia sempet ke Wijaya Kusuma, tapi sekali saja, kalau tidak salah. Sebetulnya bukan kami tidak mau orang konsultasi di tempat lain. Tapi kami kan harus pantau kondisinya dari awal kehamilan bagaimana. Ya mungkin kami juga ada sedikit miskomunikasi sih. Jadi kalau orang itu CD4-nya normal, viral load-nya normal artinya tidak terlalu melonjak, itu sebenarnya bisa per jalan lahir meskipun ya tadi dikatakan ada risiko. Risiko itu tetap ada.

Artinya jika sejak awal periksa kandungan di RS Fatmawati, ada kemungkinan untuk lahir normal?
Memang dia bawa catatan tiga bulan ke belakang dari dokter sebelumnya. Tapi dokter kami perlu yakin, dengan prinsip kehati-hatian, pertimbangannya itu berdasarkan tiga hal tadi, faktor ibu, bayi, dan obstetrik. Kami preventif sehingga lebih memilih nol risiko. Persalinan lewat jalan lahir memang diperbolehkan dalam Permenkes 51/2013 tapi masih tetap ada risiko. Apalagi dia juga ini anak ketiga kan. Jadi begitu akhirnya pertimbangan dokter memutuskan dia persalinan seksio. Kalau kami diberikan pilihan, mau yang ada risiko sekian persen atau nol, pasti yang nol dong. Nah pertimbangan dokter juga begitu. Kami harus yakin betul bayinya tidak tertular.

Bukankah dia pernah menjadi pasien RS Fatmawati?
Iya, dia dulu pernah berobat di sini, tapi rawat jalan. Itu berobat sudah lama, jadi adanya data lama. Kami kan perlu memantau terus bagaimana kondisi viral load, CD4 dia yang terbaru. Karena dalam rentang waktu panjang itu kan bisa saja dia relaps lagi, kami kan enggak tahu.

Apakah RS Fatmawati mengharuskan pasien HIV melahirkan melalui caesar?
Tidak begitu, kita tidak akan serta merta memaksa orang tidak boleh ini atau itu. Sudah ada diskusi sebenarnya antara pasien dan dokter. Dokter memutuskan begitu atas pertimbangan tiga faktor tadi dan memilih yang nol risiko. Ya, kami juga minta maaf kalau staf kami cara penyampaiannya tidak enak, mungkin ada yang menyinggung pasien. Saya sudah sampaikan ke dokter, mungkin ada yang kurang jelas penyampaian dari dokter. Dia kan kader sehingga perlu dijelaskan semuanya selengkap-lengkapnya dengan detil karena dia juga kan sudah banyak tahu informasi. Tapi kan tindakan itu juga sudah ada surat pernyataan yang dia tandatangani artinya sudah bersedia. Jadi masalahnya mungkin hanya masalah komunikasi. Seharusnya kalau bisa dibicarakan, disampaikan saja kalau ada ketidakpuasan atas pelayanan. Pasien yang tidak puas bisa juga menghubungi. Ada kotak saran, humas, atau melalui media sosial.

Apakah benar bayi dirawat di ruangan tempat menyimpan barang tidak terpakai?
Itu ruangan bayi, tapi memang kami pisahkan, kami kan belum tahu apakah bayi ini viral load-nya undetect atau bagaimana. Kan belum bisa dipastikan, bayi baru bisa dites ketika berusia 3-6 bulan pada saat itu badannya sudah membentuk antibodi. Dan bayi itu kan rentan penyakit, bayinya rentan, bayi orang lain juga rentan. Jadi kami preventif jangan sampai ada penularan ke bayi lain.

Apa benar ruangan bayi itu sebenarnya gudang?
Itu ruangan bayi tapi memang boksnya cuma satu itu, tidak dengan bayi lain. Itu bukan tempat simpan barang lah. Kami juga tidak setega itu.

Apakah tim medis di RS Fatmawati sudah memahami penanganan terhadap OHDA?
Kami di sini semua sudah menerapkan universal precaution, jadi kewaspadaan standar, jadi semua memang telah dilengkapi dengan pelindung yang standar untuk semua jenis operasi. Misalnya, ada pasien kecelakaan dioperasi, ternyata HIV dan kami tidak tahu sampai selesai operasi kalau dia HIV. Jadi ya kami memang sudah siap dengan kemungkinan kami mungkin saja positif. Karena memang tidak berlaku screening awal, misalnya orang mau operasi, screen dulu HIV atau tidak. Tidak ada begitu. Malah mereka sendiri yang ingin secara terpisah, seperti pelayanan di Wijaya Kusuma itu. Kami pernah berencana disatukan saja dengan tempat praktik lain. Mereka bilang enggak mau, mereka lebih nyaman di sana karena bisa saling support bisa ketemu orang-orang yang bisa saling bagi pengalaman.

Kalau ruang inap dan perawatan penderita HIV apakah terpisah dengan pasien lain?
Oh enggak, ruang inap sama. Jadi ya masalahnya dengan pasien itu ya cuma di komunikasi. Sebenarnya tidak perlu seperti ini. Kami juga rencananya mau mengundang dia agar bisa bicara, memberikan penjelasan. Apalagi dia kan kader yang harusnya bisa aktif di Klinik Wijaya Kusuma untuk berbagi pengalaman. Tapi ini dia juga belum datang kontrol lagi. (Bersambung)

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya