Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
RUMAH dua lantai di Jalan Pramuka Jati RT 004/RW 08 Nomor 17, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, itu hanya berjarak 100 meter dari Stasiun Kramat.
Riuhnya teriakan anak-anak menjadi salah satu ciri dari rumah itu dan selalu jadi pusat perhatian siapa saja yang lalu lalang di sana.
Suara itu berasal dari 17 anak berseragam serbaputih dengan topi dan dasi oranye. Mereka ialah siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Balitasari.
Di sebuah ruangan berukuran 5x6 meter persegi, anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu itu tengah sibuk mencorat-coret buku gambar di hadapan mereka dengan pelbagai warna, mengikuti pola gambar-gambar di buku.
Di sudut ruangan, dua guru mereka mengamati dan mengarahkan satu per satu siswa. Tidak ada yang diam, semua sibuk dengan tingkah masing-masing.
Saban hari, aktivitas PAUD Balitasari dimulai sejak pukul 08.00 dan berakhir pukul 12.00 WIB. Terbagi dalam dua sesi proses belajar, kelas pertama berlangsung hingga pukul 10.00 kemudian dilanjutkan sesi kelas kedua hingga siang pukul 12.00.
“Ibu lihat, bagus enggak?” tanya Ragil, salah satu siswa PAUD.
Belum sempat gurunya menjawab, sudah muncul teriakan lain. “Bu, ini warna apa?” seru siswa lainnya.
“Bu, sudah semuanya,” timpal anak yang lain.
Kustini, 63, guru sekaligus Kepala PAUD Balitasari, hanya tersenyum melihat polah anak-anak didiknya tersebut. Dibantu asistennya, ia ladeni satu per satu siswa yang datang padanya.
“Ini bagus. Ini juga bagus. Anak-anakku semua pandai menggambar rupanya,” ucapnya yang disambut teriakan puas anak-anak balita tersebut.
Kustini ialah inisiator sekolah PAUD yang berdiri pada 1990-an itu. Berawal dari kecintaannya terhadap anak-anak dan peduli terhadap pendidikan, ia menyulap lantai dasar sebuah rumah tua menjadi sebuah kelas.
Sekolah itu diprioritaskan bagi anak-anak telantar dan anak-anak buruh di lingkungan tersebut.
Awalnya hanya anak-anak di lingkungan tersebut yang didaftarkan orangtuanya. Namun belakangan, orangtua dari kelurahan lain juga menyekolahkan anak mereka di sana.
Sekolah itu hanya memungut biaya Rp50 ribu tiap bulannya.
“Ini murni sosial, kita tidak membebani orangtua mereka. Dua guru juga digaji Rp250 ribu tiap bulannya per orang,” terang Kustini.
Kokom, 45, salah satu orangtua siswa, merasa bersyukur bisa menyekolahkan anaknya di PAUD tersebut. Berprofesi sebagai juru masak di sebuah kantin, ia merasa terbantu dengan biaya pendidikan yang murah dengan kualitas pendidikan yang terbilang bagus di kawasan itu.
“Terjangkau, bisa mencicil juga,” ucap Kokom.
Di balik kemurahan hati pemilik bangunan dan tugas tanpa pamrih sang guru, ternyata bangunan dua lantai itu sedang disengketakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tahun lalu, muncul gugatan dari pihak yang mengatasnamakan ahli waris Betty, pemilik 9 lahan di Jalan Pramuka Jati, mengklaim sebagai pemilik yang sah lahan itu. Bahkan proses pengadilan sudah bergulir tiga kali di PN Jakarta pusat.
“Saya mengkhawatirkan masa depan pendidikan anak-anak ini,” ucap Kustini lirih. (Ferdian Ananda Majni/J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved