Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
DI Tenggara Batavia pada 1648, peradaban orang Tugu bermula. Kala itu sekitar 150 orang dari 22 keluarga Portugis menempati kawasan yang sekarang kita kenal sebagai Kampung Tugu.
Kampung itu membentang di dua wilayah administratif, Kecamatan Koja dan Kecamatan Semper Barat, Jakarta Utara.
Rupa Kampung Tugu kini tak jauh berbeda dengan premukiman padat penduduk pada umumnya di Ibu Kota.
Deretan rumah berdiri rapat dan diselingi jalanan berupa gang-gang kecil.
Di sini para keturunan orang Tugu bisa ditemui meski tidak semua penduduk Kampung Tugu kini asli keturunan Tugu.
Pernikahan antarsuku dan praktik jual beli tanah membuat penduduk Kampung Tugu kini lebih beragam.
Tidak ada ciri fisik menonjol dari para keturunan Tugu ini.
Beberapa yang dijumpai Media Indonesia berkulit gelap dengan perawakan seperti orang Indonesia pada umumnya.
Guido Quiko, salah satu keturunan Tugu, menyebut rata-rata keturunan Tugu di Batavia berkulit gelap.
Pun jika ada yang tidak, amat mungkin mereka telah menikah dengan etnik lain, terutama Belanda.
"Entahlah, rata-rata berkulit gelap. Mungkin karena dulu orang Tugu ini berperan sebagai serdadu. Memang mirip orang Portugis, tapi yang berkulit gelap," tambahnya.
Masyarakat Tugu meyakini asal muasal nama Tugu berasal dari kata Por-tugu-ese.
Sejarawan asal Belanda, De Graff, ialah salah satu yang meyakini versi ini.
Ada pula versi lain yang menyebut nama Tugu berasal dari penemuan sebuah Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanagara di sekitar kawasan tersebut.
Prasasti tersebut kini berada di Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Di antara pesan-pesan yang tertera dalam prasasti tersebut, ada kisah mengenai Sungai Candrabaga sepanjang 21 kilometer, yang salah satu alirannya berada tepat di depan Gereja Tugu.
Menurut sejarawan Restu Gunawan, mereka yang akhirnya mendiami Kampung Tugu itu mulanya berada di Malaka selama Portugis berkuasa di sana. Mereka awalnya merupakan kaum mardijkers atau kaum yang merdeka.
Namun, ketika Belanda tiba, mereka terdesak dari Malaka, lalu berakhir di Batavia. Kali pertama datang ke Batavia, kawasan yang mereka diami masih berupa hutan dan rawa.
Salah satu keturunan Tugu, Johan Sopaheluwakan, punya pendapat berbeda.
Menurutnya, 150 orang yang ada di Kampung Tugu itu ialah yang diasingkan Belanda.
Mereka dibebaskan dengan sejumlah syarat.
Orang Tugu yang mulanya beragama Katolik harus pindah ke Protestan lalu mengubah marga mereka dengan sentuhan Belanda.
Tidak semua dari mereka bertahan di Kampung Tugu. Ada sebagian orang Tugu yang pindah ke Belanda.
Sebabnya, pascakemerdekaan, masyarakat keturunan Portugis itu dipandang dengan sentimen dari penduduk lokal yang antiasing.
Situasi itu dirasa tidak aman bagi mereka sehingga muncullah tawaran dari seseorang perwira angkatan darat bernama Leopold Tomasouw kepada masyarakat Tugu untuk pindah ke Belanda.
Sebagian lainnya memilih menetap di Kampung Tugu hingga akhirnya sentimen terhadap mereka bisa mereda pada 1970-an.
Menurut Johan, keturunan Tugu berkembang sebagai mestizo atau campuran.
Sebabnya, mereka menikah dengan berbagai etnik lain, seperti Belanda, Manado, dan Betawi.
Melacak akar
Berabad-abad berselang, marga khas Tugu masih terus bertahan. Guido memperkirakan dirinya sebagai keturunan ke-8 dari nenek moyang yang pertama kali menginjakkan kaki di Tugu.
Tidak ada yang tahu persis.
Tidak ada catatan dari keluarga Quiko mengenai silsilah turun-temurun mereka. Guido hanya mengetahui silsilah keluarga hingga kakek dari ayahnya.
Sebelum itu, tidak lagi terlacak.
Meski begitu, orang Tugu masih menyimpan harapan bisa menelusuri rekam jejak silsilah keluarga mereka.
Guido mengatakan saat ini ada sekitar 200 keluarga keturunan Tugu yang masih menetap di sana.
Guido merupakan keturunan Tugu yang membawa nama famili atau marga, yakni Quiko.
Ia lebih senang menyebut golongan sepertinya sebagai 'ring 1'.
"Kami di sini punya istilah ring 1 untuk pembawa nama famili seperti saya. Ring 2 itu mereka yang mendapat keturunan Tugu dari ibu mereka jadi tidak membawa nama famili. Ring 3 anak dari ring 2," kata Guido saat ditemui di kediamannya.
Dari semua marga yang ada, Quiko menjadi satu-satunya marga yang masih kental akan unsur Portugis.
Marga lainnya, seperti Michiels, Cornelis, dan Andries, telah terpengaruh oleh kultur Belanda.
"Mungkin karena marga Quiko dulunya rohaniwan. Jadi, tidak terpengaruh," duga Guido.
Johan Sopaheluwakan yang juga masih memiliki darah Quiko menambahkan, penggunaan marga khas Tugu tidak lagi selestari dulu.
Sebabnya, para keturunan Tugu kini banyak melakukan pernikahan antarsuku.
Dengan sistem patrilineal, para perempuan keturunan Tugu tidak bisa menyematkan marga mereka sebagai nama belakang anak-anak.
Johan yang mendapatkan darah Tugu dari neneknya yang bermarga Quiko, contohnya.
Karena tidak ingin asal usul neneknya hilang, Johan menyematkan nama Quiko pada anaknya, Sergio Augusto Quiko Sopaheluwakan.
Ia sempat meminta izin kepada kakeknya yang keturunan Ambon bermarga Sopaheluwakan untuk menyematkan nama Quiko berbarengan dengan Sopaheluwakan.
"Cara itulah satu-satunya yang saya bisa lakukan supaya anak saya selalu ingat dia juga keturunan Tugu," kisah Johan. (J-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved