Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Bir Pletok Adu Gengsi Pribumi-Kumpeni

(DA/J-1)
09/7/2017 23:15
Bir Pletok Adu Gengsi Pribumi-Kumpeni
(MI/ BARY FATHAHILAH)

INFORMASI yang minim membuat masyarakat tak tahu banyak akan bir pletok. Seakan tabu untuk dibahas karena diasumsikan minuman khas Betawi itu sama dengan bir yang beralkohol. Meski tak diketahui dengan persis waktu kehadirannya, minuman bir pletok sudah ada sejak meneer dan mevrouw Belanda bercokol di Batavia. Kehadirannya memiliki cerita yang melatarbelakangi. Begitu pula dengan dua kata yang dipakai untuk namanya, yakni bir dan pletok.
Penamaan tersebut tidak lepas dari eksistensi masyarakat pribumi dan bangsa Belanda kala itu.

Indra Sutisna, anggota Lembaga Pengelola Komite Kesenian dan Pemasaran Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan, menjelaskan bahwa zaman dahulu, ketika masa penjajahan Belanda, warga pribumi tidak mau kalah dengan penjajah yang suka minum bir. Karena itu, mereka menciptakan minuman sendiri yang fungsinya hampir sama, menghangatkan tubuh. "Katanya bir bisa menghangatkan, nah bir pletok juga bisa, tapi tidak memabukkan sehingga sesuai syariat agama," ujarnya. Terkait dengan nama pletok sendiri setidaknya ada tiga cerita yang mendasari.

Pertama diambil dari bunyi pletok yang keluar dari bambu karena hasil pencampuran bahan-bahannya. Kedua, bunyi pletok dari es batu yang beradu di dalam teko berisi bir tersebut. Yang ketiga, bunyi pletok yang berasal dari kulit secang yang merupakan salah satu bahan minuman tersebut. "Jadi, dua kata itu memiliki arti. Memang erat kaitannya dengan kehadiran bangsa Barat di sekitar kita. Seakan warga pribumi tak mau ketinggalan dengan gaya hidup Eropa," kata Indra. Rasa hangat yang ditimbulkan bir pletok memang datang dari campuran bahan alami aneka rempah.

Pandangan tak jauh berbeda soal asal usul bir pletok juga disampaikan peneliti budaya Betawi, JJ Rizal. Menurut literatur yang didapatnya, sejak dahulu masyarakat Betawi sangat dekat dengan agama Islam. Hal tersebut terlihat dari mayoritas kaum pria yang tak bisa lepas dari sarung dan peci sebagai penutup kepala saat itu. Seiring dengan masuknya Belanda ke Indonesia, mereka agak antipati. Apalagi saat para penjajah mengadakan pesta khas bule yang tak pernah diadakan tanpa minuman keras.

"Mereka banyak menyaksikan orang Belanda berpesta. Ukuran seberapa extravaganza-nya pesta mereka ialah seberapa banyak wine (minuman anggur) yang dihabiskan," terang Rizal. Masyarakat Betawi menyaksikan itu dengan rasa hati yang kesal. Kondisi demikian mendorong warga pribumi membuat budaya tandingan. Mereka membuat minuman sewarna bir, merah kecokelat-an. Namun, racikan minuman tersebut tidak dicampur alkohol.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya