SENADA dengan tema Hari Guru Nasional 2018, yaitu Membangun profesionalisme guru menuju pendidikan abad ke-21, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendorong guru-guru di Indonesia menguatkan profesionalisme mereka. Profesionalisme yang dimaksud ialah mampu menyiapkan generasi penerus atau sumber daya manusia yang cocok dengan dunia kerja dan dunia sosial pada abad ke-21.
“Tentu saja kita harus bekerja lebih keras ke depan. Saya mengingatkan bahwa di tangan para gurulah, generasi muda yang akan menentukan masa depan Indonesia menjadi bangsa besar sekaligus maju,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat peringatan Hari Guru Nasional 2018 di Kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta, kemarin.
Pemerintah turut memberikan dukungan kepada guru dengan mengadakan pelatihan dan pendidikan. Selain itu, Kemendikbud membekali guru dengan penguasaan terhadap beberapa hal, termasuk metodologi, pendekatan dan strategi pembelajaran, dan tak kalah penting ialah materi pembelajaran. “Begitu pun kriteria-kriteria untuk rekrutmen guru baru harus ditingkatkan menjadi semakin baik,” imbuhnya.
Mendikbud juga mengucapkan selamat Hari Guru kepada para pahlawan tanpa tanda jasa se-Indonesia. Berkat kerja keras, semangat, dan pengabdian yang dilakukan selama ini, para guru berhasil mencetak banyak calon generasi pemimpin bangsa.
“Terima kasih kepada seluruh guru dan tenaga kependidikan, baik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri, atas pengabdian penuh semangat serta pengorbanan yang tak ternilai harganya,” ucap Muhadjir.
Langkah mewujudkan profesionalisme guru juga mesti mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, Kemendikbud mulai tahun depan memberlakukan cara baru dalam presensi guru, yaitu penggunaan sidik jari (fingerprint). Nanti, kehadiran guru dapat dipantau secara langsung melalui sistem daring (online) oleh pemerintah pusat.
“Sedang kami usahakan sistem online, fingerprint, yang otomatis nanti sudah dicek di tingkat pusat. Kami mengusahakan (mulai) tahun ajaran baru 2019,” ungkap Mendikbud di tempat yang sama.
Ia menuturkan aturan baru itu sesuai dengan peraturan menteri bahwa kehadiran guru di sekolah, terutama sekolah negeri, wajib 8 jam per hari selama lima hari kerja. Hal itu pun diatur dalam Undang- Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) seperti ASN pada umumnya.
Kegiatan lain
Beban kerja pada guru tetap mengikuti aturan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hanya, kewajiban 24 jam tatap muka per minggu di kelas dapat diekuivalenkan dengan kegiatan lain para guru seperti membimbing siswa atau memberikan pengarahan dengan menjadi pembina organisasi ekstrakurikuler.
“Presensinya tetap kehadiran, tetapi kalau memang yang bersangkutan tidak mungkin untuk memenuhi itu, tidak usah dipaksakan. Bila ada,
aktivitas-aktivitas lain para guru dapat dikonversi menjadi beban kerja,” paparnya.
Selain di sekolah, lanjut Muhadjir, kegiatan lain para guru seperti menjadi pembicara ahli di lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang masih berada di bawah lingkungan pemerintah juga boleh dianggap sebagai pengganti beban kerja. Dengan demikian, kegiatan lain para guru bukan menjadi alasan untuk melanggar aturan.
Muhadjir menegaskan aturan baru mengenai presensi tanpa pengecualian, termasuk bagi konselor sekolah atau lebih dikenal dengan guru bimbingan penyuluhan (BP). Di samping wajib hadir 8 jam, guru BP bertanggung jawab tidak hanya di sekolah, tetapi di suatu zona mulai SD, SMP, hingga SMA/SMK.
Dengan begitu, basis kerja konselor berada di zona meskipun status kepegawaian mereka tetap berada di satu sekolah tertentu. Bahkan dengan satu zona, tanggung jawab para guru tersebut untuk berkoordinasi, kerja sama, dan kolaborasi antarsekolah justru dituntut semakin baik.
“Semua aturan itu berlaku keseluruhan, tidak ada pilot project. Bagi yang melanggar, sanksi sudah ada aturannya. Misalnya, kalau dulu tidak diberikan tunjangan profesi, nanti akan kami atur yang lebih luwes,” tandas Mendikbud.
Saat dihubungi terpisah, pengamat pendidikan Abduh Zen mengutarakan presensi guru yang dilakukan secara daring sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan merupakan konsekuensi logis atas kebijakan lima hari sekolah, masing-masing 8 jam per hari. “Keuntungannya, ketentuan 24 jam tatap muka per minggu tidak perlu lagi,” tukasnya.
Sistem baru itu juga menjadi solusi bagi sekolah yang memiliki banyak guru bermasalah dalam memenuhi 24 jam tatap muka per minggu. Namun, perlu dipahami, imbuh Abduh Zen, sidik jari hanya alat kontrol untuk mengawal ketentuan tersebut.
“Yang paling penting ialah sosialisasi agar dipahami maksud baik dari kebijakan itu. Di samping itu, perlu semacam guide selama 8 jam di sekolah tentang berbagai hal yang perlu dikerjakan guru, selain dari mengajar,” pungkasnya. (S4-25)