UPAYA pemerintah untuk dapat memberikan pendidikan yang layak tidak hanya berlaku bagi anak-anak Indonesia di dalam negeri, tetapi juga mereka yang berada di luar negeri. Sebut saja anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di Sabah, Malaysia.
Kebanyakan dari mereka masih mengalami kesulitan dalam memperoleh akses pendidikan. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari total 53.757 anak Indonesia di Sabah, Malaysia, sebanyak 30.373 yang belum memperoleh layanan pendidikan.
Hal itu karena berdasarkan ketentuan perjanjian kerja sama penempatan TKI di Malaysia tahun 2004, pemerintah kerajaan Malaysia tidak mengakui keberadaan anak-anak tersebut alias ilegal. Akibatnya, mereka tidak diperkenankan bersekolah di sekolah kebangsaan.
Padahal jika melihat Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pendidikan wajar sembilan tahun untuk setiap WNI, baik yang tinggal di NKRI maupun di luar negeri.
Itu artinya, pemerintah Indonesia bertanggungjawab mencari solusi agar anak-anak TKI di Sabah, Malaysia, bisa memperoleh hak pendidikan. Mulai tahun 2016, melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud menugaskan 109 guru non-PNS dengan status kontrak dua tahun.
Melalui program pengiriman guru (PPG) tersebut, mereka ditugaskan untuk melakukan proses pembelajaran di pusat pembelajaran di wilayah Sabah, Malaysia. Sementara tujuan utama dari PPG salah satunya ialah mengatasi persoalan kekurangan guru di sekolah Indonesia yang berada di Sabah, Malaysia.
Pasalnya, jika mengacu pasa rasio guru dan siswa 1 : 32 maka total kebutuhan guru di sana mencapai 1.046 guru. Hingga tahun 2017 sudah ada sebanyak 445 guru dari Tanah Air yang bertugas di Sabah, Malaysia.
Salah satunya ialah Weny Nilasari, Guru Muda Indonesia yang bertugas di CLC 4 Ladang Sapi 4. Ia mengatakan bahwa selama delapan bulan mengajar anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia, tidak ada campur tangan pihak pemerintah Malaysia apalagi dalam penerapan kurikulum.
"Karena ini murni sekolah Indonesia, jadi kami menggunakan kurikulum Indonesia. Tidak ada campur tangan Malaysia. Tapi memang ada satu mata pelajaran yaitu civic yang harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran anak-anak di sini (Malaysia)," ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Weny, meski bangunan sekolah milik pemerintah Malaysia namun pada dasarnya sekolah tersebut merupakan sekolah Indonesia. Hanya anak-anak dari para pekerja ladang asal Indonesia saja yang boleh bersekolah di CLC 4 Ladang Sapi 2.
Meskipun demikian, tak dimungkiri keberadaan sekolah-sekolah Indonesia khususnya di Sabah, Malaysia, masih memiliki beberapa kekurangan. Seperti keterbatasan listrik dan air maupun pembelajaran dalam satu kelas dengan jumlah siswa yang cukup banyak.
Namun terlepas dari kekurangan yang ada, sejumlah siswa yang notabene merupakan anak bangsa tersebut berhasil meraih prestasi. Alfred Kopong, contohnya, dulu menjual pakis di Malaysia sekarang telah menjadi mahasiswa jurusan elektronika di Yangzhou Polytechnic InstInstitute, Tiongkok.
Nurul Ayuni, seorang gadis yang dulu diejek sebagai anak pendatang ilegal kini mengenyam pendidkan di jurusan administrasi negara, UNM. Begitupun Nurhayati yang pernah tidak tenang bersembunyi karena tinggal secara ilegal sekarang mahasiswi perpajakan di Unpad.
Lain lagi dengan Aswan. Lahir di tengah-tengah hutan sawit tak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar hingga melanjutkan kuliah di UPI jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Bahkan ia kini telah menulis sembilan buku.
Pemerintah berharap dengan memperoleh pendidikan yang layak, anak Indonsia di manapun berada bisa hidup lebih baik d masa depan. Terlebih lagi dapat mengabdi dan berbakti dengan memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan bangsa. (RO/X-10)