POHON beringin besar menjulang saat saya masuk ke kompleks masjid dan makam Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta, dari sisi timur. Pohon dengan daun-daun yang cukup lebat itu membuat suasana di sekitar kompleks terasa teduh.
Pohon beringin yang diberi nama waringin sepuh itu dipercaya masyarakat sekitar sebagai saksi hidup lahir dan berkembangnya kawasan Kotagede hingga sekarang.
Dalam kepercayaan masyarakat Kotagede, pohon waringin sepuh ditanam Sunan Kalijaga. Dulu Sunan Kalijaga pula yang menunjukkan lokasi untuk tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan, yang nantinya menjadi Kerajaan Mataram Islam.
Pohon beringin itu dahulu berada di Hutan Mentaok. Dalam Babad Tanah Jawi pun dijelaskan, sejak berdirinya Mataram di tengah Hutan Mentaok, banyak orang mulai berdatangan. Hutan lebat itu berubah menjadi sebuah kota yang kemudian bernama Kotagede, yang berlimpah pangan karena tanahnya sangat subur.
Catatan sejarah Sir Thomas Stamford Raffles dalam History of Java juga menyinggung berdirinya Kerajaan Mataram Islam di Alas (Hutan) Mentaok. Hutan itu sebetulnya hadiah tanah dari Sultan Pajang. Namun, dalam perkembangannya, Ki Ageng Pemanahan mendirikan kerajaan sendiri dan tidak bergantung pada Kesultanan Pajang.
Semakin besar kerajaan tidak diimbangi dengan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Penyebabnya ialah pada masa itu Mataram sering terlibat pertempuran. Kotagede sebagai jantung ibu kota Kerajaan Islam Jawa tetap didatangi masyarakat dari berbagai penjuru untuk mengadu nasib.
Ketua Yayasan Pusat Kajian, Dokumentasi, dan Pengembangan Budaya Kotagede Erwito menjelaskan Kotagede pada masa-masa konflik tersebut menjadi tempat berlindung yang aman. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, Kotagede mulai redup dan merosot secara ekonomi setelah tidak lagi menjadi pusat kerajaan.
Perjanjian Giyanti 1755 menyebabkan wilayah Kotagede dibagi dua, sebagian masuk ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian masuk wilayah Kasunanan Surakarta.
Wilayah Kotagede yang berada di Provinsi DIY terdiri dari Kecamatan Kotagede masuk wilayah Kota Yogyakarta dan Kecamatan Banguntapan masuk wilayah Kabupaten Bantul.
Merosotnya kota Perpecahan Mataram juga berdampak pada kemerosotan tata kota, bangunan, ataupun ekonomi. Erwinto memaparkan, dari segi tata kota, konsep catur gatra tunggal yang dulu pernah ada kini tidak sepenuhnya tampak.
Erwito menyebut sejarah awal pembangunan Kotagede sama dengan kota-kota lainnya di Pulau Jawa, yaitu dengan catur gatra tunggal; pasar, masjid, kedhaton, dan alun-alun. Pasar sebagai pusat perniagaan, masjid sebagai pusat peribadatan, kedhaton sebagai pusat pemerintahan, dan alun-alun sebagai ritual adat masyarakat.
Namun, catur gatra tersebut kini sudah tidak utuh lagi. Saat ini, kita hanya bisa melihat Masjid Gede dan Pasar Kotagede, sedangkan kedhaton dan alun-alun sudah tidak tampak wujudnya. ''Keduanya sudah menjadi kampung, yaitu Kampung Kedhaton dan Kampung Alun-Alun,'' kata Erwito.
Dahulu di saat para abdi dalem mulai kehilangan penghasilan akibat perpecahan keraton, rumah-rumah yang dibangun dijual dan dibeli para saudagar, di antaranya orang kalang.
Antropolog Jepang Mitsuo Nakamura dalam buku Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin menyebutkan abdi dalem pada masa kejayaan Mataram Islam memiliki kekuasaan, kekayaan, dan jabatan prestise.
Mereka bisa mengeruk sumber penghasilan dari penduduk kota dan aparat pemerintahan setempat. Karena tuntutan perut, para abdi dalem menjual harta mereka untuk bertahan hidup.
Rumah-rumah asli khas Kotagede pun mulai dirombak sesuai dengan keinginan pembeli. ''Para saudagar mengadopsi arsitektur Barat dalam merenovasi rumah mereka. Hasilnya di dalam masih menggunakan gaya joglo, tetapi bagian luar menggunakan gaya Eropa,'' ujarnya.
Rumah gado-gado ala Jawa Eropa itu disebut rumah jengki. Uniknya gaya arsitektur rumah jengki itu juga ditemui di kota-kota yang memiliki perkampungan batik seperti Pekalongan, Laweyan, dan Kebumen. ''Ada kemiripan karena ada hubungan dagang pada masa itu antarsaudagar,'' ungkapnya.
Dalam kesempatan sama, Kasi Perlindungan Pengembangan dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta Wahyu Astuti mengungkapkan sejarah panjang yang ada di Kotagede harus terus dijaga dan dilestarikan. Menurutnya, Kotagede layak menjadi cagar budaya yang terus dilestarikan.
''Di Kotagede masih berdiri Masjid Gede, Benteng Cepuri, kompleks makam raja-raja, hingga rumah-rumah bergaya arsitektur lama. Ini kawasan yang sangat berharga karena banyaknya situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam,'' ujar Wahyu.
Pemprov DIY pun telah memasukkan Kotagede sebagai salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta. Pemerintah setempat bahkan telah mengeluarkan perda untuk kawasan cagar budaya Kotagede tersebut.
Meskipun sudah ada perda untuk melindungi dan melestarikan cagar budaya Kotagede, Wahyu tetap khawatir.
Pasalnya, sejak gempa bumi pada 2006 lalu, banyak bangunan tua runtuh dan akhirnya dijual pemiliknya. Bangunan joglo berusia tua pun tidak luput dijual pascagempa. Bangunan itu diangkut utuh ke luar Kotagede.
''Banyak cara dilakukan masyarakat. Dengan adanya masalah ini, pemda DIY ataupun pusat harus turun tangan untuk menyelamatkan Kotagede yang selama ini dikenal sebagai kota tua dengan banyak situs sejarahnya,'' imbau Wahyu.(N-4)
PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan siap apabila diminta memberikan kontribusi dalam mendukung anggaran program Makan Bergizi Gratis ( MBG ).
PRESIDEN Prabowo Subianto menetapkan anggaran makan bergizi gratis menjadi Rp10 ribu per anak dan ibu hamil. Angka itu menurun dari rencana sebelumnya yang Rp15 ribu. Cukupkah?