Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Menghindari Deja Vu Kopenhagen

Dhika Kusuma Winata/Litbang Media Indonesia/I-2
10/12/2015 00:00
Menghindari Deja Vu Kopenhagen
(MI/DUTA)
Konvensi Kerangka Kerja mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) sudah mengingatkan perlunya aksi mendesak (business as urgent) demi menghindarkan manusia dari kiamat akibat perubahan iklim.

Namun, lebih dari sepekan konferensi perubahan iklim di Paris berjalan, perselisihan terus mengemuka.

Pekan pertama diwarnai ketegangan. Pengelompokan negara kaya dan negara berkembang yang dihasilkan dari prinsip common but differentiated responsibilities and respective capabilities (CBDR-RC), alih-alih memunculkan solidaritas dan simpati, malah memperlebar jurang silang pendapat.

Tiongkok bersama kelompok negara berkembang menuntut negara-negara maju agar bertanggung jawab atas emisi di masa lampau.

Pasalnya, emisi global meningkat pesat sejak dimulainya Revolusi Industri yang dilakukan negara-negara Eropa dan Amerika dua abad silam.

Kelompok negara berkembang menuding negara industrilah biang keladi pemanasan global.

Karena itu, mereka dituntut mendanai proyek mitigasi perubahan

iklim secara penuh.

Di sisi lain, kelompok negara kaya enggan menanggung beban itu sendirian dengan dalih banyak negara berkembang yang mengalami kemajuan pesat, seperti Tiongkok dan India.

Perselisihan yang didasari logika 'kompensasi' itulah yang sulit diterima dan diakui negara maju.

Indonesia sendiri dalam posisi dilematis karena secara ekonomi bertumbuh dan masuk kelompok G-20, tetapi pemerintah menilai masih membutuhkan bantuan.

Draf kesepakatan yang dirilis Sabtu (5/11) menawarkan beragam opsi.

Salah satunya pembiayaan didanai kelompok negara maju.

Namun, draf itu juga memasukkan opsi pembiayaan kolektif pasca-2020. Itu artinya negara-negara yang 'naik kelas' dari kasta negara berkembang diharapkan bisa berkontribusi dan mengurangi beban negara maju.

Target ambang batas peningkatan suhu sebenarnya mengalami perkembangan positif.

Meski gagal membuat kesepakatan universal, COP ke-15 di Kopenhagen, Denmark, tetap memasukkan pengakuan batas 2 derajat celsius.

COP ke-16 di Cancun, Meksiko, menegaskan arah komitmen tersebut.

Februari silam, muncul wacana untuk menjaga pemanasan tak lebih dari 1,5 derajat celsius.

Di Paris, sejumlah negara kepulauan meminta ambang batas pemanasan 1,5 derajat celsius.

Bersambut baik, target itu masuk draf awal kesepakatan.

Dalam pasal yang mengatur target mitigasi jangka panjang, dicanangkan

target nol emisi global pada 2060-2080.

Negara maju harus mengurangi emisi lebih cepat, sedangkan negara berkembang punya sedikit kelonggaran waktu.

Juga, ihwal penentuan puncak emisi gas rumah kaca yang harus dipangkas disebutkan.

Namun, belum jelas kapan puncak pengurangan emisi itu.

Meski kesepakatan yang akan dilahirkan nanti diharapkan bersifat mengikat, sanksi terkait dengan kegagalan dalam mencapai target tidak ditentukan.

Itu artinya komitmen sangat bergantung pada prinsip 'kerelaan' dan akibatnya bisa sulit diprediksi.

Esok merupakan hari terakhir konferensi.

Semoga saja perselisihan terpecahkan dan kegagalan di Kopenhagen tidak terulang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya