Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
HAKIM Mahkamah Agung di Tiongkok, He Fan, melabeli Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebagai penganggu dan 'musuh hukum' setelah Trump menyerang sistem peradilan AS.
Sebelumnya, Trump mengecam hakim Distrik Seattle, James Robart, karena menangguhkan perintah eksekutif yang melarang wisatawan dari tujuh negara mayoritas muslim (Iran, Irak, Suriah, Libia, Sudan, Somalia, dan Yaman) masuk ke AS.
He Fan menyamakan kritikan Trump tersebut dengan aksi seorang penjahat yang membunuh hakim di Tiongkok bulan lalu.
'Seorang presiden mengkritik hakim dan penjahat yang membunuh hakim adalah musuh terhadap hukum', tulis He Fan di akun media sosial Wechat miliknya, Minggu (5/2).
"Di negara yang mengaku paling demokratis dan paling berdasarkan aturan hukum, keputusan seorang presiden yang mengecam hakim membuat dirinya tidak berbeda dari pengganggu tanpa martabat!" imbuh He Fan.
Sejak pelantikan Trump bulan lalu, Partai Komunis Tiongkok kerap mengecam krisis sistem yang tengah dihadapi demokrasi negara Barat dan memuji keunggulan sistem otoriter di 'Negeri Tirai Bambu'.
Dukungan tolak larangan Trump
Pengacara dari Negara Bagian Washington dan Minnesota meminta pengadilan banding untuk menolak pemberlakuan kembali perintah eksekutif Trump tersebut.
Pada Senin (6/2) mereka telah mengajukan tuntutan tersebut dengan dukungan pengacara dari 16 negara bagian AS lainnya.
Beberapa kelompok hukum dan hak asasi manusia juga telah menyatakan dukungan mereka, termasuk dari Southern Poverty Law Center, Americans United for Separation of Church and State, dan the American Civil Liberties Union.
Perusahaan besar seperti Apple, Facebook, Google, Microsoft, dan Twitter juga telah menyatakan dukungan mereka dengan alasan larangan tersebut akan mengancam kemampuan mereka untuk menarik pekerja asing dan investasi ke AS. Sejumlah pejabat tinggi di era Presiden Barack Obama termasuk mantan Menteri Luar Negeri AS John Kerry juga telah bergabung dalam pertempuran hukum pengadilan AS melawan Trump.
Sebanyak 10 mantan diplomat dan intelijen, termasuk mantan penasihat keamanan nasional Susan Rice, mengatakan dalam pengajuan mereka bahwa tidak ada ancaman spesifik yang membenarkan larangan tersebut untuk alasan keamanan atau kebijakan luar negeri.
"Sebaliknya, larangan tersebut mengganggu ribuan nyawa, termasuk pengungsi dan pemegang visa yang sebelumnya telah diperiksa sesuai prosedur," ujar Rice.
Argumen mereka tampaknya melemahkan pernyataan Trump yang menyebut larangan diberlakukan karena pengungsi dan imigran dari tujuh negara tersebut bisa menimbulkan bahaya bagi AS.
Di lain pihak, pemerintah AS, Senin (6/2), mengatakan larangan Trump ialah bagian dari praktik hukum kekuasaan presiden dan mendesak pengadilan banding untuk kembali memberlakukan larangan tersebut demi kepentingan keamanan nasional.
'Ancaman dari kelompok radikal Islam sangat nyata, lihat saja yang terjadi di Eropa dan Timur Tengah. Pengadilan harus bertindak cepat', tulis Trump di Twitter, Senin (6/2). (AFP/FinancialTimes/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved