Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
SEBAGAI salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, Venezuela menjadikan minyak sebagai sumber utama pendapatan mereka. Keuntungan 95% dari ekspor minyak menjadi andalan utama untuk pembiayaan sejumlah program pemerintah. Menurut sejumlah pejabat Venezuela, salah satu program pemerintah itu ialah pembangunan lebih dari 1 juta rumah untuk warga miskin.
Dengan cadangan minyak yang besar, Venezuela menjadi satu-satunya negara non-Timur Tengah yang turut mendirikan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Dunia atau OPEC bersama Iran, Kuwait, Irak, dan Arab Saudi pada September 1960. Selain minyak, negeri ini juga mengandalkan ekspor hasil pertanian yakni kopi dan kakao. Namun, negara dengan populasi 32 juta jiwa itu tidak masuk golongan negara yang makmur. Dalam kancah perpolitikan, Venezuela bukanlah negara dengan kondisi yang stabil.
Saat negara tersebut dipimpin Presiden Carlos Andrs Prez, kekisruhan politik kerap mewarnai. Perez yang memimpin selama dua periode tidak pernah lepas dari tekanan politik. Bahkan dua kali terjadi upaya penggulingan kekuasaannya. Seorang tokoh militer yang bernama Hugo Chavez turut terlibat dalam upaya kudeta tersebut. Kekecewaan masyarakat kian memuncak saat Perez tidak mampu mengatasi krisis ekonomi. Puncaknya pada Mei 1993, Perez pun menjadi presiden pertama yang dipaksa mundur oleh Mahkamah Agung.
Pada pemilihan presiden 1998, Hugo Chavez dengan dukungan partai Gerakan Republik Kelima (FRM) memenangi pemilu. Chavez, politikus yang pernah mendekam dua tahun di penjara, kembali memenangi pemilu presiden (pilpres) periode kedua pada 2000. Pada pilpres 2006, ia kembali menang dengan meraih kemenangan suara mencapai 60%. Namun, belum menuntaskan tugas sebagai presiden untuk periode ketiga kalinya, Chavez diagnosis mengidap kanker pada Juni 2011.
Memasuki usia 58 tahun, kondisi kesehatan Chavez kian memburuk. Seiring dengan kondisi fisik Chavez yang tak lagi memungkinkan, tongkat pemerintah berpindah tangan ke Wakil Presiden Nicolas Maduro pada 13 Maret 2013. Secara otomatis, mantan sopir bus yang juga pernah menjabat menteri luar negeri itu mengendalikan pemerintahan.
Dipicu harga minyak
Memasuki 2014, situasi dunia kian tidak kondusif dengan ditandai merosotnya harga minyak dunia. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor minyak, perekonomian Venezuela turut terguncang. Krisis ekonomi yang berdampak pada kehidupan masyarakat Venezuela pun tak dapat dielakkan lagi. Maduro yang baru genap setahun memegang kekuasaan berusaha keras untuk mengatasi krisis. Namun, kesulitan perekonomian yang menimpa warganya tak kunjung menemui solusi.
Sebagian masyarakat yang kecewa pun mulai turun ke jalanan. Dengan dukungan kalangan oposisi yang memanfaatkan situasi, masyarakat Venezuela tak hanya mendesak secepatnya krisis diatasi. Mereka menuntut Maduro yang dikenal sebagai 'anak ideologis Chavez' melepaskan jabatan. Kelangkaan pangan dan kebutuhan pokok terus dikeluhkan masyarakat. Bahkan inflasi yang melanda negara tersebut tertinggi di dunia yakni mencapai lebih dari 300%.
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi inflansi di Venezuela akan menembus 1.660% pada tahun depan. "Saya datang karena kami tidak tahan dengan situasi seperti ini lagi. Saya tidak ingin menderita lagi," ujar Marisela Flores, seorang demonstran dari Kota Madya El Hatillo yang datang ke Caracas untuk berunjuk rasa. Di tengah terpaan krisis yang kian memburuk, Maduro yang memasuki usia 54 tahun mulai mencari kesalahan pihak lain.
Ia menuduh kalangan oposisi turut memperburuk keadaan dan menginginkan untuk melengserkan dirinya sebagai presiden. Bersamaan dengan krisis yang kian memburuk, unjuk rasa merebak di sejumlah daerah. Aparat keamanan mencoba bertindak tegas untuk meredam aksi kekecewaan terhadap pemerintah. Sejak gelombang aksi terjadi selama dua tahun tercatat lebih dari 50 demonstran tewas.
Persatuan terbelah
Kendati gelombang antipemerintah menguat, posisi Maduro belum sepenuhnya goyah. Sebagian masyarakat Venezuela yang prokebijakan dan pendukung ideologi Chavez serta tergabung dalam kelompok 'Chavistas' masih setia mendukung Maduro. Sebagian kelompok masyarakat lainnya yang sepaham dengan oposisi mengharapkan keinginan yang berbeda. Mereka tak lagi bisa bersabar menunggu kekuasaan Partai Sosialis Bersatu (PSUV) yang mendukung Chavez dan Maduro selama 17 tahun segara berakhir.
Kalangan oposisi terus menggembar-gemborkan bahwa sejak 1999, PSUV telah memberangus sejumlah lembaga demokrasi. Pemerintahan di tangan PSUV telah salah mengelola perekonomian negara sehingga berujung krisis. Para 'Chavistas' tak kalah sengitnya dan menuduh para elite oposisi telah mengeksploitasi kemiskinan masyarakat demi memperkaya diri. Kalangan oposisi dikatakan mendapat kucuran dana dari Amerika Serikat (AS) dalam melawan pemerintahan.
"Apakah mereka (kelompok antipemerintah) menginginkan perdamaian?" kata Maduro di depan ribuan 'Chavitas' pada Agustus lalu. "Apakah mereka menginginkan demokrasi? Kami siap dengan demokrasi, tetapi jika mereka mencoba mengudeta kami dengan serangan dan kekerasan, revolusi akan meresponsnya."
Referendum
Berdasarkan undang-undang Venezuela, pelaksanaan referendum dapat digelar. Referendum yang dilakukan tiga tahap dapat menentukan nasib seorang presiden yang masih menjabat, apakah tetap dapat melanjutkan tugas atau mengundurkan diri. Kalangan oposisi pun melakukan langkah sesuai konstitusi negara. Dengan syarat dukungan 200 ribu tanda tangan, kalangan oposisi telah dapat melengkapi proses referendum tahap pertama. Kalangan yang tak sabar ingin mendongkel Maduro itu berupaya memenuhi proses referendum tahap kedua dengan dukungan 4 juta tanda tangan yang dimulai pada 26 Oktober lalu.
Namun, enam hari sebelum referendum tahap kedua dimulai, otoritas pelaksana referendum menyampaikan pengumuman. Otoritas pemilu setempat mengatakan bahwa dalam sekitar 200 ribu tanda tangan pada tahap pertama terjadi kecurangan. "Suara 1% (200 ribu tanda tangan) jelas dinodai kecurangan dan kebohongan," kata Jorge Rodrguez, Ketua Dewan Pemilu Nasional Venezeula. Pengumuman tersebut telah membuat kemarahan kalangan oposisi. Para wakil oposisi yang menguasai Majelis Nasional meminta masyarakat untuk membela konstitusi terkait dengan referendum.
Mereka menyatakan negara telah dikudeta dan perintah konsitusi dilanggar. Sebaliknya, Maduro yang didukung lembaga pemerintah tetap dengan pendiriannya. Di tengah penderitaan masyarakat yang kian parah, sebuah resolusi disepakati oposisi, yang berisikan tiga poin diumumkan. Poin pertama meminta organisasi internasional membantu dalam membela rakyat Venezuela. Poin kedua menunjuk hakim Mahkamah Agung dan anggota Dewan Pemilu Nasional. Poin terakhir atau ketiga, angkatan bersenjata Venezuela dilarang melakukan tindakan konstitusional dan melanggar hak asasi manusia.
Penengah
Persoalan Venezuela yang berlarut-larut akhirnya mendapat sorotan dari Paus Fransiskus. Paus dari Argentina itu bertemu Maduro. Pihak Vatikan bersedia menjadi penengah dalam pembicaraan antara pemerintah dan para pemimpin oposisi. "Saya memohon masyarakat Venezuela untuk berdialog secara politik dan sosial demi kesejahteraan Venezuela. Venezuela harus menutup bab kekerasan politik," ujar Maduro.
Pembicaraan pun akhirnya digelar mulai 30 Oktober lalu di Pulau Margarita yang berada di Kepulauan Karibia. Akan tetapi, tokoh oposisi utama, Henrique Capriles, menuduh Maduro telah memanfaatkan kepercayaan Paus demi sepentingannya. "Kami memberikan kesempatan untuk melucuti senjata orang-orang yang membenci dan intoleran, serta membuka pintu untuk cinta di antara masyarakat Venezuela," ucap Maduro setelah pertemuan.
Keretakan pun terjadi di tubuh koalisi partai oposisi yang tergabung dalam Gerakan Persatuan Demokratik (DUR). Alasannya sejumlah tokoh oposisi bertemu Maduro tanpa konsultasi lebih dahulu. Wakil Presiden PSUV, Diosdado Cabello, balik menuduh pihak oposisi ingin menggunakan pembicaraan dengan melibatkan Paus dengan tujuan menggulingkan Presiden Maduro. (AFP/BBC/CNN/Al-jazeera/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved