Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Rokayah Bekerja hanya Dua Bulan

Deri Dahuri
22/9/2015 00:00
Rokayah Bekerja hanya Dua Bulan
(ANTARA/ISMAR PATRIZKI)
SUATU siang tiga pekan lalu, pesawat maskapai Emirates siap melakukan take off dari Riyadh, Arab Saudi, menuju Dubai, Uni Emirat Arab. Deru suara pesawat dengan tujuan akhir Jakarta yang transit di Dubai itu sudah terdengar jelas di telinga.

Berselang beberapa menit setelah Media Indonesia duduk di kursi pesawat, datang seorang perempuan yang mengenakan kerudung. Dia duduk tepat di samping kursi Media Indonesia.

Saat seorang pramugari meminta agar tas perempuan itu disimpan di tempat penyimpanan barang tepat di atas kursinya, perempuan yang berwajah Indonesia itu tampak bingung. Kendati pramugari berbicara dalam bahasa Inggris, si perempuan berkerudung tetap menjawab dalam bahasa Indonesia.

Barulah setelah dibantu, komunikasi antara pramugari dan perempuan tersebut dapat dijembatani. Beberapa saat kemudian, awak kabin mengumumkan tata cara penyelamatan bila pesawat terjadi kecelakaan atau guncangan. Pilot pun mengumumkan pesawat siap lepas landas.

Begitu tanda sabuk pengaman dapat dilepas, obrolan baru dimulai. "Nama saya Rokayah. Saya kerja di Riyadh, Arab Saudi," ujar perempuan yang mengenakan jaket itu sembari menambahkan bahwa usianya 35 tahun.

Di tengah pembicaraan, raut wajah Rokayah tampak muram. Ketika mengisahkan perjalanan hidup hingga harus pulang kampung ke Indonesia, dia tak mampu membendung tetesan air matanya.

Rokayah mengaku telah bertahun-tahun bekerja di Timur Tengah. "Sebelumnya saya bekerja di Kuwait selama dua tahun, lalu kerja di Doha, Qatar, dua tahun juga, kemudian Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, juga selama dua tahun dan di Oman selama tujuh bulan," ujar ibu anak satu dari Kampung Onjol, Kecamatan Cerenang, Kabupaten Serang, Banten, tersebut.

Isak tangis Rokayah pecah saat ditanya kenapa raut mukanya bersedih. "Saya baru kerja dua bulan di Riyadh. Saya tidak tahan. Saya sakit hati sama teman saya. Beruntung majikan saya baik. Saya pun dibeliin tiket pulang ke Indonesia," jelas dia.

Rokayah lantas memperlihatkan paspornya yang berwarna biru muda. Nama dan alamat tertera jelas. Dalam paspor itu, terdapat sederet tulisan bahasa Inggris bercampur Arab, 'Number of Entries Single Duration of 90 Days. Not permitted to work'.

Rokayah mengaku tidak tahu apa yang tertulis dalam paspor tersebut. Dia hanya mengaku bahwa sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja dengan embel-embel nama 'Medical' telah mengirimkan Rokayah ke Riyadh. "Sebelumnya, saya mau kerja jadi cleaning service di rumah sakit," ujar Rokayah.

Namun, perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah di daerah Banten bukannya mengirim Rokayah sebagai pekerja semiformal dalam bidang cleaning service sebagaimana yang dijanjikan. "Saya kerja sebagai pembantu rumah tangga di Riyadh," ucap Rokayah.

Anehnya, Rokayah yang hanya memegang visa kunjungan yang berlaku selama 90 hari itu ternyata bisa dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Di sisi lain, pengiriman Rokayah yang disebutkan akan ditempatkan bekerja di rumah sakit ialah cara agar bisa bekerja di Arab Saudi.

Sesuai dengan keputusan, pemerintah telah menetapkan moratorium untuk pengiriman TKI yang dipekerjakan informal sebagai pembantu rumah tangga (PRT) sejak 2013. Dengan moratorium tersebut, tidak lagi ada TKI pembantu rumah tangga yang dikirim ke Timur Tengah.

Rokayah bukannya sendirian. Ratusan bahkan mungkin ribuan TKI yang menjadi pembantu rumah tangga yang dikirim ke Saudi dengan berkedok sebagai pekerja formal dan semiinformal.

Bahkan kini perusahaan penyalur TKI dari Indonesia tidak memungut biaya sepeser pun untuk memberangkatkan TKI yang akan dijadikan pembantu rumah tangga tersebut. "Kalau dulu saya harus bayar sampai jutaan rupiah, sekarang enak sih, enggak bayar," ucap Rokayah.

Kepada Media Indonesia, Konsul Jenderal RI di Jeddah Dharmakirty S Putramengaku mengakui masih banyak \TKI yang masuk ke Arab Saudi secara ilegal. Lebih lanjut, TKI ilegal datang ke Saudi dengan menggunakan visa umrah atau kunjungan. "Tujuan mereka bukan untuk umrah, melainkan memang sengaja ingin bekerja di (Arab) Saudi. Biasanya mereka disebut umrah atau haji sandal jepit," jelasnya.

Koordinator bantuan hukum lembaga Migrant Care Musliha mengatakan persoalan TKI bukan hanya terjadi pada hilirnya di luar negeri atau Arab Saudi. "Persoalan telah ada sejak di hulu. Pihak perusahaan penyalur TKI dan lembaga pemerintah terkait turut bertanggung jawab atas masih lolosnya TKI informal ke Arab Saudi."(I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya