Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Para Pendulang Riyal di Negeri Petrodolar

Deri Dahuri
22/9/2015 00:00
Para Pendulang Riyal di Negeri Petrodolar
(MI/Deri Dahuri)
DALAM kunjungan kenegaraan belum lama ini, Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz, Putra Mahkota Uni Emirat Arab Sheikh Mohamed bin Zayed al Nahyan, dan Emir Qatar Shaikh Tamim bin Hamad Al-Thani, dengan salah satu pembahasan soal perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di ketiga negara.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang turut mendampingi Presiden berharap kunjungan tersebut menjadi momentum untuk mendorong komitmen ketiga negara agar lebih melindungi TKI.

Sebelum itu, untuk mengatasi persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah telah memberlakukan moratorium pengiriman TKI informal ke 21 negara termasuk Arab Saudi sejak 2011.

Faktanya, moratorium pengiriman TKI belum sepenuhnya menjadi solusi. Sejumlah TKI sektor informal tetap berdatangan ke Arab Saudi dengan cara ilegal. Sejumlah perusahaan penyalur TKI masih melakukan pengiriman dengan berbagai cara agar meloloskan para TKI yang ujung ujungnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.

Para TKI memasuki Arab Saudi dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan visa kunjungan, visa umrah, dan sebagian kecil dengan menggunakan visa haji. Saat bekerja di Saudi, mereka tidak dilengkapi dokumen imigrasi yang jelas. Selain menjadi mainan agen penyalur dan majikan, mereka tidak memiliki izin tinggal secara sah.

"Angka resmi TKI yang menjadi overstayer di Arab Saudi pada 2013 tercatat 30 ribu orang," kata Konsul Jenderal RI di Jeddah, Arab Saudi, Dharmakirty S Putra kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Sumber: BNP2TKI/ Gradis: Caksono

Menurut Dharmakirty, pada 2013 pemerintah telah memulangkan 91 ribu TKI ke Tanah Air dengan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). "Namun, sekitar 40 ribu TKI menolak pulang ke Indonesia dengan berbagai alasan," paparnya.

Para TKI yang tidak mau pulang kendati telah overstay mengaku khawatir tidak mendapat pekerjaan setelah kembali ke Indonesia. "Mereka biasanya tinggal di penampungan apartemen secara diam-diam milik majikan," jelasnya.

Alasan lain para TKI bertahan dan menolak pulang ke Indonesia ialah karena harus memenuhi kebutuhan keluarga mereka di kampung halaman. "Jika para TKI telah kembali ke Indonesia, mereka khawatir tidak diizinkan lagi datang ke Arab Saudi untuk bekerja," kata Dharmakirty.

Konsul Jenderal RI di Jeddah mengaku tidak mengetahui jumlah pasti TKI di wilayah Jeddah, Mekah, dan Madinah. "Ditambah lagi masih banyak TKI yang masuk ke Saudi secara ilegal," kata Dharmakirty.

Untuk TKI ilegal yang datang ke Arab Saudi dengan menggunakan visa umrah, Dharmakirty menjelaskan, "Tujuan mereka bukan untuk umrah, melainkan memang sengaja ingin bekerja di Saudi. Biasanya mereka sering disebut sebagai peserta umrah atau haji sandal jepit."

Perhatikan
Di sisi lain, Koordinator Bantuan Hukum lembaga Migrant Care Musliha mengatakan sampai saat ini masih banyak ditemukan calon TKI yang berencana bekerja di Arab Saudi. "Hal ini dikuatkan dengan penelusuran dan penelitian kami di Bandara Soekarno-Hatta," tegasnya.

Dalam menanggapi upaya pemulangan TKI yang overstay oleh pemerintah, Musliha mendesak instansi terkait untuk bersikap serius dan bijak. "Dengan demikian, para TKI tidak dirugikan dan menjadi korban untuk kesekian kali, terutama setelah kembali ke Tanah Air," ujarnya.

Musliha menegaskan upaya pemulangan harus dibarengi kesiapan TKI setelah tinggal di Tanah Air. Para TKI, kata Musliha, perlu mendapatkan bekal memadai dan minimal bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka. "Pemerintah tidak hanya berupaya memulangkan para TKI overstayer, tetapi juga mempersiapkan mereka setelah kembali ke Tanah Air."

Pemerintah, lanjutnya, selayaknya serius menyelesaikan permasalahan TKI yang overstay di Timur Tengah dengan langkah memulangkan mereka. "Maka harus melihat pola kasus yang sudah overstay tetapi masih dalam kuasa agensi gelap atau tersembunyi di rumah-rumah majikan itu yang utama," tegas Musliha.

Berikutnya, kata Musliha, sampai saat ini masih ada pola pengiriman yang dilakukan dengan atas nama perorangan. "Padahal, mereka itu sebenarnya difasilitasi perusahaan penyalur TKI atau orang-orang PT (perusahaan terbatas)." Karena itu, menurut Musliha, pemerintah harus memperhatikan dan memonitor TKI yang direkrut perusahaan. "Jangan sampai mereka ditelantarkan di luar negeri," tambahnya.

Penampungan
Persoalan TKI terutama di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, masih menyisakan masalah besar. Pekerjaan rumah terkait dengan TKI masih menumpuk dan upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut bisa dikatakan cukup serius.

Tiga pekan lalu, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI) mengundang wartawan dan lembaga swadaya masyarakat yang membantu TKI untuk mengunjungi langsung Konsul Jenderal RI di Jeddah dan Kedutaan Besar RI (KBRI) Riyadh, Arab Saudi.

Sejumlah TKI berada di penampungan Konjen RI Jeddah, Arab Saudi, beberapa waktu lalu
Foto: Antara/Prasetyo Utomo


Selain berbincang langsung dengan Konsul Jenderal RI di Jeddah Dharmakirty S Putra dan Kuasa Usaha Ad Interim RI di Riyadh Sunarko, Media Indonesia bersama rombongan mengunjungi penampungan TKI yang berada di Jeddah dan Riyadh. Rombongan juga bertukar pikiran dengan sejumlah LSM lokal yang dikelola para TKI.

Di lokasi penampungan TKI bermasalah di Jeddah, terdapat 53 TKI yang terdiri atas 4 pria dan 49 perempuan. Tempat penampungan dapat dikatakan cukup memadai dan kebutuhan TKI terpenuhi dengan baik kendati masih perlu perluasan.

Media Indonesia sempat berbincang dengan para TKI mengenai berbagai persoalan yang dihadapi. Mereka berharap bisa segera kembali ke Tanah Air. Seorang laki-laki berusia 35 tahun dari Dusun Kajana, Malirung Libureng, Bone, Sulawesi Selatan, salah satunya, mengalami depresi. Dia telah bekerja selama dua tahun tujuh bulan di Jeddah. Kendati secara fisik tampak sehat, ucapannya kerap melantur dan menjadi tertawaan rekan-rekannya.

Ada pula Srinaningsih asal Desa Labuan Jambu, Tararu, Nusa Tenggara Barat. "Saya kerja lima tahun empat bulan, tapi empat bulan terakhir saya tidak mendapat gaji," dia mengaku seraya melanjutkan, "Saya nekat kabur dengan turun dari jendela rumah majikan karena tidak digaji dan pekerjaan berat. Saya naik bus menuju KJRI dan saya ingin pulang ke Indonesia," ujarnya. Ada juga seorang TKI asal Desa Cibuntu, Nanggeleng Cipeundeuy, Bandung, Jawa Barat, yang telah bekerja selama tujuh bulan. "Saya bekerja sebagai penjaga rumah di Riyadh dan tidak pernah mendapat gaji," ucapnya.


Sumber: BNP2TKI/ Gradis: Caksono

Salah seorang TKI yang sakit bahkan harus meregang nyawa di lokasi penampungan, sedangkan seorang TKI asal Madura hanya bisa berbaring di tempat tidur karena mengalami stroke.

Dengan kondisi tersebut, Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Haryanto berharap penanganan TKI di penampungan di KJRI harus pula melibatkan psikolog dan psikiater. "Mereka tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga psikologis," ujarnya.

Sementara itu, di penampungan di KBRI Kota Riyadh yang diberi nama Ruhama (Rumah Harapan Masa Depan), tercatat ada 128 TKI. Selama tinggal di sana, mereka mendapat pelatihan membuat kerajinan, menjahit, dan memasak.

Pada kunjungan ke lokasi penampungan TKI bermasalah itu, penyanyi Lia Emilia yang juga mantan anggota penyanyi Trio Macan, di bawah manajemen GP Production, turut menghibur dan disambut antusias para TKI. Mereka menari dan bernyanyi bersama untuk melupakan sejenak derita yang tengah mereka alami.(I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya