Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
TANGIS dua bayi mungil, satu berkelamin laki-laki dan yang lainnya perempuan, memecah keheningan di sekitar Laut Mediterania, Selasa (4/10). Di pagi buta itu, di atas kapal Dattilo milik otoritas penjaga pantai Italia, dua ibu asal Eritrea menjalani proses persalinan. Satu jam setelah Dattilo berlabuh di Pelabuhan Catania di Sisilia, Rabu (5/10) pagi, seorang bayi ketiga berkelamin laki-laki lahir dari seorang ibu lainnya.
Ketiga perempuan yang melahirkan di atas kapal itu ialah warga Eritrea. "Sungguh momen yang sangat emosional," kata dokter Giulia Marinig, yang bertugas untuk Dattilo, kepada CNN. "Melahirkan di atas kapal tentu bukan kondisi yang ideal karena dalam situasi seperti ini penting untuk tetap tenang. Untungnya posisi kepala tiga bayi itu ke bawah sehingga kelahiran berjalan lancar dan para personel penjaga pantai sangat membantu," ujarnya.
Para ibu baru tadi termasuk di antara ribuan migran, sebagian besar dari kawasan Sub-Sahara Afrika, yang diselamatkan di lepas pantai Libia pada Senin (3/10) dan dibawa ke Pulau Sisilia, Italia. Penjaga pantai Italia mengungkapkan lebih dari 5.000 migran diselamatkan pada Selasa (4/10) dan Rabu (5/10) di lepas pantai Libia dan 28 mayat ditemukan. Jumlah orang diselamatkan pekan itu lebih dari 11 ribu orang.
"Jelas cuaca baik telah memainkan peran penting dalam menjelaskan sejumlah besar pendatang baru ini," kata seorang juru bicara penjaga pantai. Lonjakan kedatangan terbaru membuat jumlah migran yang telah mencapai Italia sejak awal 2016 mencapai 142 ribu orang. Sekitar 3.100 orang meninggal dalam perjuangan menempuh perjalanan berbahaya itu. Pada 2015, 154 ribu migran datang ke negara itu dan 2.892 meninggal. Sebagian besar pengungsi itu berasal dari kawasan Afrika, termasuk Nigeria, Eritrea, Guinea, Gambia, Sudan, Pantai Gading, dan Somalia.
Menurut Eurostat, konflik di Suriah menjadi pendorong terbesar migrasi manusia, terutama yang membanjiri Eropa. Namun, kekerasan yang sedang berlangsung di Afghanistan dan Irak, pelanggaran di Eritrea, serta kemiskinan di Kosovo juga menjadi pemicu orang-orang mencari kehidupan baru ke negara lain.
10 negara
Lembaga nonpemerintah pemantau hak asasi yang berbasis di Inggris, Amnesti International, mengatakan hanya 10 negara, yang menyumbang cuma 2,5% dari ekonomi global, menampung lebih dari setengah pengungsi di dunia. Amnesti menuduh negara-negara kaya meninggalkan negara-negara miskin dalam menanggung beban krisis pengungsi, yang terburuk sejak Perang Dunia II.
Dari 10 negara itu, Yordania menjadi negara paling banyak menampung pengungsi, yakni 2,7 juta orang, kemudian diikuti Turki (2,5 juta), Pakistan (1,6 juta), dan Libanon (1,5 juta). Enam negara lainnya secara berturut-turut ialah Iran, Ethiopia, Kenya, Uganda, Kongo, dan Chad. Dalam sebuah laporan, Amnesti Internasional mengatakan ketidakmerataan distribusi beban pengungsi memperburuk masalah pengungsi global. Kondisi yang tidak memadai di negara-negara penampung utama mendorong banyak orang untuk memulai perjalanan berbahaya ke negara-negara Eropa dan Australia.
Organisasi yang berbasis di London itu mengungkapkan 56% dari 21 juta pengungsi di dunia ditampung hanya 10 negara--semuanya di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. "Sejumlah kecil negara telah dibiarkan melakukan terlalu banyak upaya hanya karena negara-negara itu bertetangga dengan krisis," kata Sekretaris Jenderal Amnesti Internasional, Salil Shetty. "Situasi itu secara inheren tidak berkelanjutan, mengekspos jutaan orang melarikan diri dari perang dan penindasan di negara-negara seperti Suriah, Sudan Selatan, Afghanistan, dan Irak karena kesengsaraan dan penderitaan tak tertahankan," tegasnya.
Amnesti mengatakan banyak negara terkaya di dunia menampung paling sedikit pengungsi dan melakukan sedikit upaya dalam menyelesaikan krisis migrasi manusia. Sikap negara tajir itu kontras dengan upaya yang diambil negara-negara di sekitar kawasan yang dilanda krisis. Inggris, misalnya, hanya mengambil kurang dari 8.000 warga Suriah sejak 2011, sementara Yordania--dengan populasi hampir 10 kali lebih kecil daripada Inggris dan hanya 1,2% dari PDB--menampung lebih dari 655 ribu pengungsi dari negara tetangga yang dilanda perang. "Ini bukan hanya soal pengiriman bantuan uang. Negara-negara kaya tidak dapat membayar untuk membuat orang-orang itu tetap 'di sana'," ujar pihak Amnesti.
Rute berbahaya
Amnesti Internasional mengusulkan sebuah solusi, bahwa negara-negara terkaya di dunia harus menampung 10% pengungsi global setiap tahun, dengan pengecualian Kanada. Pasalnya Kanada telah memukimkan sekitar 30 ribu pengungsi Suriah pada tahun lalu, selaku negara yang kaya melakukan bagiannya. "Sudah saatnya para pemimpin masuk ke debat serius dan konstruktif tentang bagaimana masyarakat kita membantu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat perang dan penganiayaan," kata Shetty.
"Mereka harus menjelaskan mengapa dunia bisa menyelamatkan bank-bank, mengembangkan teknologi baru, dan berperang, tetapi tidak dapat menemukan rumah yang aman untuk 21 juta pengungsi, hanya 0,3% dari populasi dunia," tegasnya. Kathleen Newland, salah seorang pendiri Institut Kebijakan Migrasi (MPI), mengatakan jika tidak banyak negara meningkatkan respons mereka dalam menyelesaikan akar persoalan ini, para pengungsi akan terus melarikan diri menggunakan rute yang berbahaya.
"Saya pikir kita akan melihat lebih banyak orang yang mencoba untuk bergerak melalui kanal-kanal klandestin dengan menggunakan jasa penyelundup, menempatkan diri mereka dalam bahaya besar untuk mencoba mencapai tempat mereka dapat memulai kembali hidup mereka," kata dia kepada Al-Jazeera. "Semakin pemerintah berusaha menutup rute-rute tersebut, akan ada rute-rute alternatif yang lebih berbahaya," pungkasnya. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan lebih dari 1.011.700 migran tiba di Benua Eropa melalui jalur laut pada 2015, dan hampir 34.900 orang melalui rute darat. (AFP/BBC/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved