Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Setelah Haiti Luluh Lantak Diamuk Matthew

MI
09/10/2016 08:56
Setelah Haiti Luluh Lantak Diamuk Matthew
(AFP/NICOLAS GARCIA)

CARMIN Luc, 22, warga Kota Port-au-Prince di bagian selatan Haiti yang diterpa badai Matthew pada Selasa (4/10) lalu ingat betul peristiwa mengenaskan yang dia alami. Sampai saat ini, ia pun menyimpan trauma amat mendalam.

“Seolah-olah seseorang memegang remote control dan mengatur angin itu terus berputar lebih kencang dan lebih kencang lagi. Sampai saat atap rumah saya terangkat semuanya, saya hanya bisa pasrah dengan kedua tangan saya bertumpu pada dinding rumah dan mencoba bertahan sekuat tenaga sambil melindungi anak saya yang berumur 3 tahun yang terus berteriak,” kata Luc.

Dia menceritakan situasi saat detik-detik badai Matthew menghantam wilayahnya yang kini meninggalkan duka bagi sekitar 1 juta warga. Belum lagi mereka harus rela kehilangan karena korban meninggal dan kehancuran total di seluruh negara.

Setidaknya, korban tewas mencapai 800 orang, yang diperkirakan masih terus bertambah. Akibat terpaan badai yang membawa angin dengan kecepatan 400 km per jam itu, Haiti kini bagai hamparan petak-petak sawah penuh lumpur dan genangan air.

Kehancuran total! Itulah yang dialami Haiti. Port-au-Prince dan wilayah Jeremie yang berpenduduk sekitar 30 ribu orang tampak dari udara hanya hamparan atap-atap rumah yang hancur, pohon-pohon bertumbangan, lumpur, dan sungai-sungai yang meluap. Herve Fourcand, seorang senator, saat meninjau daerah bencana mengatakan bahkan beberapa daerah masih terputus akibat banjir dan tanah longsor.

Lebih jauh ke selatan, ke Kota Les Cayes, kota ketiga terbesar di Haiti, juga babak belur oleh badai Matthew yang kali ini juga menghantam Kuba dan sebagian wilayah California, AS. Bahkan wilayah Sous-Roche yang tadinya merupakan daerah pantai yang indah dan tenang kini berubah penuh lumpur dan tampak rumah serta pohon-pohon yang tumbang. Air laut yang tadinya bersih tampak kecokelatan karena bercampur dengan lumpur. “Saya pikir saya akan mati,” kata Yolette Cazenor, 36, warga Sous-Roche sambil berdiri di depan sebuah rumah yang sudah hancur.

Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, negara yang berpenduduk 11 juta dan termiskin di Benua Amerika itu kini betul-betul berada di titik terendah. Masih belum pulih akibat gempa bumi dahsyat pada 2010, Haiti kini harus dihadapkan pada bencana akibat terpaan badai Mathhew.

Haiti kini tengah berusaha untuk bangkit dan karena itu panggilan kemanusiaan ke wilayah ini merupakan sesuatu yang sangat mendesak. Presiden AS Barack Obama, misalnya, mendesak Amerika untuk memobilisasi dukungan bagi Haiti.

AS pun sudah menyanggupi untuk mengirimkan kapal USS Mesa Verde dengan 300 pasukan Marinir. Mereka akan menambah kekuatan 250 personel dan 9 helikopter yang sudah dikerahkan ke Haiti sebelumnya.

Prancis juga menyatakan akan mengirim 60 pasukan dengan 32 ton bantuan kemanusiaan dan peralatan pemurnian air. Bahkan, Venezuela, negara yang sedang bergelut dengan krisis ekonomi dalam negeri, terketuk hati dan dengan cepat mengirim pasokan bantuan dan makanan.

Namun, di tengah gelombang bantuan, banyak pihak yang skeptis bahwa Haiti bisa betul-betul bangkit. Pascadilanda gempa dahsyat pada 2010 yang menewaskan lebih dari 250.000 orang, gelombang bantuan juga banyak mengalir. Hanya saja, program bantuan internasional dalam jumlah besar kala itu dikritik karena gagal membangun kapasitas lokal yang baik dan jangka panjang. (AFP/Ths/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya