Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Ilmuwan Berpacu Temukan Vaksin

Haufan Hasyim Salengke
10/2/2020 05:20
Ilmuwan Berpacu Temukan Vaksin
Ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan dievakuasi tiba di Bandara Internasional Tianhe, Wuhan, Hubei, Tiongkok, Sabtu (1/2/2020).(DOK KBRI BEIJING)

PARA ilmuwan dari A­merika Serikat hingga Australia menggunakan teknologi baru dalam upaya ambisius multijuta dolar mengembangkan vaksin dalam waktu singkat untuk mengatasi wabah virus korona Tiongkok.

Virus baru telah menyebar dengan cepat sejak akhir tahun lalu di Tiongkok, yang menewaskan 813 orang dan menginfeksi 37.566 orang. Hingga kini, kasus tersebut telah mewabah di 24 negara lain.

Dalam menghasilkan vaksin apa pun, biasanya memakan waktu bertahun-tahun dan melibatkan proses pengujian yang panjang pada hewan, uji klinis pada manusia, serta persetujuan regulator.
“Ini ialah situasi tekanan tinggi dan ada banyak beban bagi kami,” kata peneliti senior, Keith Chappell, bagian dari kelompok Universitas Queensland Australia.

Namun, ilmuwan itu menambahkan dia mengambil ‘penghiburan’ karena mengetahui beberapa tim di seluruh dunia terlibat dalam misi yang sama.

“Harapannya ialah bahwa salah satu dari ini akan berhasil dan dapat menahan wabah ini,” katanya.

Akan tetapi, jangka enam bulan terlihat sangat lambat dengan virus yang diyakini telah muncul dari pasar yang menjual hewan liar, yang membunuh hampir 100 orang­ setiap hari di daratan Tiongkok.

Upaya tersebut tengah dipimpin oleh Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), sebuah badan yang didirikan pada 2017 untuk membiayai penelitian bioteknologi setelah wabah ebola di Afrika Barat yang menewaskan lebih dari 11.000 orang.

CEO CEPI, Richard Hatchett, mengatakan tujuannya ialah memulai pengujian klinis dalam 16 minggu.

Messenger DNA

Perusahaan biofarmasi Jerman, CureVac dan Moderna Therapeutics yang berbasis di AS, juga sedang mengembangkan vaksin berdasarkan ‘messenger RNA’--instruksi yang memberi tahu tubuh untuk memproduksi protein sedangkan Inovio, perusahaan Amerika lainnya, menggunakan teknologi berbasis DNA.

“Vaksin berbasis DNA dan RNA menggunakan kode genetik virus untuk mengelabui sel-sel tubuh agar menghasilkan protein yang identik dengan yang ada di permukaan patogen,” jelas Ooi Eng Eong, wakil direktur program penyakit menular di Duke-NUS, sekolah kedokteran di Singapura.

Ilmuwan Prancis di Institut Pasteur memodifikasi vaksin campak agar dapat bekerja melawan virus korona, tetapi jangan berharap vaksin itu siap untuk sekitar 20 bulan.

Pusat Pe­ngendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok juga telah mulai mengembangkan vaksin. “Otoritas kesehatan menimbang risiko dan manfaat dalam persetujuan vaksin dan jika ada keadaan darurat kesehatan masyarakat, proses­nya dapat dipersingkat,” kata Ooi.

Para ilmuwan mungkin berakhir dalam situasi yang sama seperti ketika mereka mengalami wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) tahun 2002-2003.

Ong Siew Hwa, Direktur Acumen Research Laboratories, mengatakan upaya mengembangkan vaksin untuk virus baru harus terus berlanjut bahkan jika wabah berakhir.

“Saya pikir vaksin pasti akan menjadi penting,” katanya. “Jika tidak pada waktunya untuk putaran ini, itu penting untuk waktu berikutnya.” (AFP//I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya