Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
GERAKAN protes antipemerintah kembali memenuhi wilayah Hong Kong, menunjukkan gejolak yang melanda pusat finansial belum reda. Awalnya, protes massa dipicu kemarahan atas pemerintahan Tiongkok selama bertahun-tahun.
Hong Kong jatuh dalam krisis terburuk sepanjang sejarah, ditandai demonstrasi selama berminggu-minggu. Konfrontasi kekerasan antara petugas kepolisian dan pengunjuk rasa pun meluas.
Protes awal disulut rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi ke daratan Tiongkok, yang saat ini ditangguhkan. Namun, demonstrasi berkembang menjadi gerakan yang lebih luas. Warga menyerukan reformasi demokratis, hak pilih universal dan menghentikan pergeseran kebebasan di wilayah semi-otonom.
Petugas kepolisian harus menembakkan gas air mata dan peluru karet, dengan gedung parlemen dihancurkan pengunjuk rasa. Otoritas Beijing menghadapi tantangan paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke Tiongkok pada 1997. Aksi protes pada Minggu (21/7) ini, merupakan demonstrasi akhir pekan ketujuh. Warga Hong Kong ramai-ramai turun ke jalan.
Anita Poon, 35, memutuskan untuk bergabung dalam unjuk rasa untuk pertama kalinya, setelah melihat banyak generasi tua terlibat dalam gerakan protes.
"Ketika nenek-nenek turun ke jalan, bagaimana mungkin kita hanya menonton televisi? Pemerintah belum merespons suara rakyat. Itu sebabnya protes terus berlanjut," pungkasnya.
Baca juga: Koalisi Abe Berpeluang Raih Suara Mayoritas
Secara umum, aksi protes berjalan damai, namun sebagian diwarnai kekerasan antara petugas kepolisian dan kelompok demonstran berskala kecil. Mereka menganggap unjuk rasa damai selama bertahun-tahun tidak membuahkan hasil.
Keamanan di pusat kota diperketat, dengan pagar jalan dari logam sebagai barikade di sekitar kerumunan massa. Penghalang besar berisi air ditempatkan di sekeliling markas polisi. Aksi massa tampaknya memiliki sedikit peluang untuk mempersuasi para pemimpin kota tidak terplih, atau Tiongkok, untuk mengubah arah masa depan Hong Kong.
Di bawah kesepakatan penyerahan dengan Inggris pada 1997, Tiongkok berjanji mengizinkan Hong Kong untuk menjaga kebebasan utama. Seperti, peradilan independen dan kebebasan bersuara. Akan tetapi, banyak yang menilai sejumlah ketentuan mulai dibatasi. Di antaranya, diskualifkasi beberapa politisi terkemuka dan penahanan para pemimpin protes pro-demokrasi. Otoritas berwenang juga menolak seruan, agar pemimpin Hong Kong dipilih langsung oleh rakyat.
Demonstran sepakat melanjutkan aksi protes, sampai tuntutan utama terpenuhi. Mulai dari pengunduran diri Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, penyelidikan independen terhadap tindakan polisi, amnesti dan penarikan RUU secara permanen.
Sejauh ini, terdapat sedikit sinyal bahwa Lam dan otoritas Tiongkok bersedia mengalah. Di luar menyetujui penundaan RUU ekstradisi, ada kekhawatiwan mengenai konsesi lain dan kesabaran Beijing yang semakin meipis. (AFP/OL-1)
Unjuk rasa tersebut merupakan reaksi terhadap operasi penangkapan besar-besaran yang dilakukan Lembaga Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) terhadap para migran tidak berdokumen.
Wakil Gubernur California, Eleni Kounalakis, berencana mengajukan gugatan hukum atas keputusan Presiden Donald Trump yang mengerahkan Garda Nasional.
Penegak hukum di Los Angeles bersiap menghadapi malam yang penuh ketegangan usai demonstrasi terkait penggerebekan imigrasi.
Wali Kota LA, Karen Bass, mengatakan tidak ada kebutuhan menurunkan pasukan federal dan kehadiran Garda Nasional menciptakan kekacauan yang disengaja.
LAPD menyatakan unjuk rasa di luar Pusat Penahanan Metropolitan sebagai perkumpulan ilegal dan mengizinkan penggunaan peluru tak mematikan.
Penyidik mengatakan Mohammed Sabry Soliman merencanakan pelemparan bom molotov ke demonstran pawai untuk sandera Israel, selama satu tahun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved