Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
HAMPIR 100 orang tewas dalam serangan yang mengerikan di sebuah desa di Mali tengah, Senin (10/6) malam. Kekerasan ini membuka babak baru kekerasan di wilayah yang rapuh itu.
Tidak ada klaim dari pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian itu. Tetapi pembantaian yang menargetkan desa yang dihuni komunitas Dogon ini memiliki ciri khas serangan etnik yang telah merenggut ratusan nyawa.
Kejadian ini terjadi kurang dari tiga bulan setelah hampir 160 anggota kelompok etnik Fulani dibantai kelompok yang diidentifikasi sebagai Dogon.
"Negara ini tidak dapat dipimpin siklus balas dendam," kata Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita kepada televisi publik ORTM dari Swiss sambil mengatakan akan mempersingkat kunjungan resminya.
Dia meminta warga Mali untuk bersatu membiarkan bangsa Mali bertahan hidup.
"Karena ini adalah masalah untuk bertahan hidup."
Baca juga: 4 Tewas lagi di Sudan setelah Pekan Berdarah
Pejabat lokal di Distrik Koundou, tempat Desa Sobane-Kou diserang, mengatakan kepada AFP, 95 orang terbunuh, tubuh mereka terbakar, dan yang lainnya masih hilang.
Pemerintah sementara mengatakan 95 orang tewas, 19 hilang, banyak hewan ternak telah disembelih, dan rumah-rumah dibakar.
"Orang-orang bersenjata, yang diduga sebagai teroris, melancarkan serangan pembunuhan di desa yang damai ini," katanya dalam sebuah pernyataan.
Satu sumber keamanan Mali di lokasi pembantaian itu mengatakan sebuah Desa Dogon telah hampir musnah.
Seorang korban selamat yang menyebut namanya sebagai Amadou Togo mengatakan sekitar 50 pria bersenjata lengkap tiba dengan sepeda motor dan pickup.
"Mereka pertama kali mengepung desa dan kemudian menyerang siapa pun yang mencoba melarikan diri," kata Togo. "Beberapa orang dipotong lehernya, toko gandum dan ternak dibakar. Tidak ada yang selamat baik perempuan, anak-anak, dan orang tua."
Togo menambahkan pihaknya telah menghitung 95 tewas dan 38 orang luka-luka, dengan sekitar 20 orang hilang.
Pejabat setempat mengatakan desa itu memiliki populasi sekitar 300.
Sebuah asosiasi pemburu tradisional Dogon, yang disebut Dan Nan Ambassagou, menyesalkan serangan biadab dan keji yang digambarkan sama dengan genosida.
Lingkaran kekerasan yang brutal di Mali tengah, sebuah mozaik etnik, dimulai setelah sebuah kelompok jihadis yang didominasi Fulani yang dipimpin oleh seorang pemuka agama Amadou Koufa muncul pada 2015.
Sejak jihadis merekrut anggota terutama dari Fulanis, mereka memicu ketegangan dengan kelompok etnis lain seperti Bambara dan Dogon. Fulani pada dasarnya adalah peternak dan pedagang, sedangkan Bambara dan Dogon adalah petani tradisional yang menetap.
Pada 16 Mei, misi penjaga perdamaian PBB di Mali (MINUSMA) mengumumkan telah mencatat sedikitnya jatuh 488 korban dalam serangan terhadap Fulanis di wilayah tengah Mopti dan Segou sejak Januari 2018.
Dalam serangan paling berdarah, sekitar 160 warga desa Fulani dibantai pada 23 Maret di Ogossagou, dekat perbatasan dengan Burkina Faso. Pembantaian ini dilakukan oleh tersangka pemburu Dogon.
Menurut MINUSMA, Fulanis bersenjata telah menyebabkan 63 kematian di antara warga sipil di wilayah Mopti, juga sejak Januari 2018.
"Ini mengejutkan, sebuah tragedi," kata kepala MINUSMA Mahamat Saleh Annadif tentang pertumpahan darah terakhir.
Dia mencatat bahwa itu terjadi pada suatu waktu ketika MINUSMA sedang membahas pembaruan mandat.
Saat ini ada sekitar 14.700 tentara dan polisi dikerahkan di Mali. Misi di Mali menempati peringkat sebagai misi PBB paling berbahaya, dengan 125 penjaga perdamaian tewas dalam serangan sejak penempatan pada 2013.
Negara-negara donor untuk MINUSMA akan bertemu di PBB pada Rabu (12/6). Keputusan untuk memperbarui mandat pasukan diharapkan dihasilkan pada 27 Juni.
Berbicara di markas PBB di New York, Annadif menyuarakan penyesalan karena pemerintah Mali tidak hadir di daerah itu untuk mencegah kekerasan.
Hanya seminggu sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan risiko tinggi atas adanya kekejaman dan meminta pemerintah untuk memperkuat tanggapannya terhadap kelompok-kelompok ekstremis.
"Jika masalah ini tidak ditangani, ada risiko tinggi eskalasi lebih lanjut yang dapat mengarah pada kejahatan kekejaman," tulisnya dalam laporan kepada Dewan Keamanan PBB.
Pada Senin (10/6), juru bicara Guterres mengatakan bahwa sekretaris jenderal sangat marah atas pembantaian itu dan dia mendesak pihak berwenang Mali untuk menyelidiki tragedi ini dan membawa para pelaku ke pengadilan.
Amnesty International menggemakan permintaan tersebut, dengan mengatakan Dewan Keamanan PBB harus memperbarui mandat MINUSMA.
Sementara itu pemerintah Mali menyatakan belasungkawa dan mengatakan setiap tindakan akan diambil untuk menangkap dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah ini.
"Bala bantuan saat ini dikerahkan di sektor ini dan melakukan pencarian," katanya dalam sebuah pernyataan.
MINUSMA didirikan setelah pasukan Prancis pada 2013 mendorong kelompok Islam radikal yang merebut bagian utara negara itu setelah pemberontak Tuareg.
Perjanjian damai ditandatangani pada 2015 oleh pemerintah Bamako dan kelompok-kelompok bersenjata yang bertujuan memulihkan stabilitas.
Namun kesepakatan itu gagal menghentikan kekerasan jihadis, yang kemudian bergeser ke Mali tengah, yang memicu permusuhan antaretnis.
Koufa pada Maret 2017 bergabung dengan Kelompok yang baru dibentuk untuk Mendukung Islam dan Muslim (GSIM). Jihadis terkemuka di wilayah Sahel ini beraliansi dengan jaringan ke Al-Qaeda. Pemimpinnya adalah Iyad Ag Ghaly. (AFP/OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved