Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Pakta Iklim Paris tidak Bisa Ditolak

Tesa Oktiana Surbakti
17/12/2018 03:00
Pakta Iklim Paris tidak Bisa Ditolak
(AFP/Janek SKARZYNSKI )

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP24 di Katowice, Polandia, akhirnya menghasilkan kesepakatan.  

Hal yang dinantikan ialah sejumlah langkah yang menjadi dasar operasional Pakta Iklim Paris pada 2020 mendatang.

Saat perundingan, di menit-menit terakhir, beberapa negara yang menjadi pasar karbon berupaya melemparkan ancaman untuk menggagalkan pertemuan tersebut.

Hasilnya, meski tertunda satu hari, para delegasi optimistis ketentuan baru mampu memastikan negara-negara pasar karbon menjalani komitmen mereka terhadap pengurangan emisi.

Sebagai informasi, kesepakatan Katowice bertujuan untuk memperkuat Pakta Iklim Paris terkait pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius.

“Menyusun program kerja Perjanjian Iklim Paris ialah tanggung jawab besar dan merupakan perjalanan panjang. Kami melakukan yang terbaik agar tidak meninggalkan siapa pun,” ungkap Ketua Perundingan COP24, Michal Kurtyka.

Dalam kesepakatan itu, butir-butir aturan umum didesain untuk menggambarkan fleksibilitas bagi negara-negara yang lekat dengan garis kemiskinan.

Namun, negara-negara berkembang tetap berupaya mencari pengakuan dan kompensasi atas dampak kenaikan suhu iklim. Sebaliknya, gagasan untuk bertanggung jawab secara hukum lantaran menyebabkan perubahan iklim, sudah lama ditolak oleh negara-negara kaya yang enggan menanggung beban besar di masa mendatang.

Seperti pada pekan lalu, para ilmuwan dan delegasi dari sejumlah negara tidak habis pikir ketika Amerika Serikat (AS), Arab Saudi, Rusia, dan Kuwait, menyampaikan keberat­an mereka dalam pertemuan yang menyoroti laporan terbaru PBB.

Sebagai solusi, mereka di antara nya menekankan urgensi untuk menjaga kenaikan suhu global dalam batas 1,5 derajat celsius. Padahal, laporan itu mengungkapkan pergerakan kebijakan global sudah keluar jalur, yaitu menuju lebih dari 3 derajat celsius pada abad ini.  

Perubahan besar

Upaya untuk merealisasikan langkah-langkah guna mencapai tujuan yang akan dicapai membutuhkan perubahan besar, luas, dan belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh lapisan masyarakat dunia.

Sebanyak 196 negara memang turut mengambil peran dalam pembicaraan itu. Mereka berusaha keras memilah beberapa pertanyaan rumit mengenai buku aturan Perjanjian Iklim Paris.

Seperti diketahui, aturan itu mengatur secara rinci dan bersifat mengikat terkait upaya sejumlah negara memangkas karbon, memberikan bantuan finansial kepada negara miskin, dan memastikan setiap orang menjalani komitmen mereka.

Meski terdengar mudah, sejatinya ketentuan itu sangat teknis karena setiap negara kerap memiliki definisi dan target mengenai pemotongan karbon yang berbeda.

Dalam hal ini, negara-negara miskin menginginkan fleksibilitas dalam impelementasi aturan sehingga mereka tidak kewalahan.

Dalam menanggapi hal itu, arsitek utama dari Pakta Iklim Paris, Laurence Tubiana, mengatakan kesepakatan yang berhasil dicapai menjadi dorongan besar bagi perjanjian sebelumnya.

“Kuncinya ialah memiliki sistem transparansi yang baik karena membangun kepercayaan antarnegara,” ujar Tubiana kepada BCC News.

Dia menegaskan negara-negara kaya seperti Rusia yang menolak meratifikasi Perjanjian Iklim Paris lantaran tidak yakin terhadap ketentuan tersebut, tidak bisa lagi menggunakan dalih serupa.

Kendati demikian, beberapa pengamat menilai kesepakatan yang dihasilkan dalam COP24 belum cukut kuat menangani persoalan besar iklim global. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya