Pemerintah AS Susun Daftar Pengawasan Media

Irene Harty
07/4/2018 13:35
Pemerintah AS Susun Daftar Pengawasan Media
(AFP/JOHN MOORE)

DEPARTMENT of Homeland Security (DHS) Amerika Serikat (AS) mulai menyusun laporan berjudul 'Media Monitoring Services' baru-baru ini untuk mengurangi ancaman demokrasi terhadap pemerintah AS.

Laporan itu akan berisi rincian permintaan informasi yang terlampir untuk mengumpulkan dan memantau kegiatan publik para profesional media dan pemberi pengaruh.

"Dan itu cukup untuk menyebabkan mimpi buruk tentang proporsi konstitusional, terutama karena kebebasan pers diserang di seluruh dunia," ujar Michelle Fabio, Kontributor Forbes dilansir dari Forbes, Jumat (6/4).

Salah satu laporan yang diunduh FedBizOpps.gov oleh DHS adalah 'I'm Not Terrified, You Are' dari Bloomberg Law.

"Serangan itu bukan hiperbola. Setiap hari, para wartawan menghadapi konsekuensi serius termasuk kekerasan fisik, pemenjaraan dan kematian," lanjutnya.

Kampanye gratis dari Komite Perlindungan Wartawan meluncurkan kampanye kebebasan pers untuk meningkatkan kesadaran tentang jurnalis yang dipenjara di seluruh dunia.

Pada 3 Mei, UNESCO memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia untuk menginformasikan warga tentang pelanggaran kebebasan pers.

Namun di balik semua upaya untuk kebebasan pers itu, AS justru melakukan sebaliknya.

"Sebagai bagian dari 'pemantauan media' DHS berusaha melacak lebih dari 290.000 sumber berita global serta media sosial di lebih dari 100 bahasa, termasuk bahasa Arab, Tiongkok, dan Rusia, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris," tutur Fabio.

Perusahaan yang ditunjuk akan memiliki akses 24/7 ke kata sandi yang dilindungi, basis data pemberi pengaruh termasuk wartawan, editor, koresponden, pemberi pengaruh media sosial, blogger, dan untuk mengidentifikasi setiap dan semua liputan media terkait DHS.

Adapun salah satu aspek dari liputan media yang akan dikumpulkan adalah sentimennya.

Sentimen warga negara dan warga negara asing yang diatur akan menghilangkan tantangan bagi pemerintah dan memadamkan hukum dari kebebasan pers dan kebebasan berbicara.

Pemerintah seharusnya mengharapkan, setidaknya, reaksi dari publik.

Lebih lanjut, Fabio menuliskan aktivitas media sosial ljuga termasuk dalam pengawasan seperti yang dilakukan Kementerian Luar Negeri AS sejak awal pekan dengan mengharuskan semua pemohon visa ke AS menyerahkan informasi media sosial dalam lima tahun terakhir.

DHS mengatakan, "NPPD/OUS (Perlindungan Nasional dan Program Direktorat/Kantor Sekretaris Bawah) memiliki kebutuhan penting untuk memasukkan fungsi-fungsi ini ke dalam program mereka untuk lebih menjangkau mitra Federal, negara bagian, lokal, suku dan swasta."

Dokumen itu juga menyatakan misi NPPD untuk melindungi dan meningkatkan ketahanan fisik dan infrastruktur siber bangsa.

"Serangan-serangan yang meluas pada media dalam masyarakat demokratis di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump, berita-berita itu akan memicu kemunduran di masa depan," tutur laporan DHS.

Kalimat itu menurut Fabio terdengar seperti respon langsung terhadap tuduhan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016.

Freedom House, yang telah memantau status pers selama hampir 40 tahun, baru-baru ini menyimpulkan kebebasan media global telah mencapai tingkat terendah dalam 13 tahun terakhir.

Namun upaya DHS bukan yang pertama kalinya melanda media AS di panggung politik bangsanya.

Oktober lalu, seorang anggota parlemen Indiana mengusulkan agar para wartawan dilisensikan. (Forbes.com/OL-1­)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya