Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Peraih Nobel Ultimatum Suu Kyi: Akhiri Pemunahan Rohingya Atau Diadili

MICOM
01/3/2018 13:44
Peraih Nobel Ultimatum Suu Kyi: Akhiri Pemunahan Rohingya Atau Diadili
(AFP)

TIGA peraih penghargaan Nobel Perdamaian mendesak pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer negara itu mengakhiri pemunahan Muslim Rohingya sekarang, atau ia diadili.

Perserikatan Bangsa-bangsa dan badan pembela hak asasi manusia sudah mengumpulkan bukti menyangkut kekerasan luas, yang dilancarkan militer Myanmar terhadap ribuan warga Rohingya, yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan menyebut tindakan militer itu sebagai pembersihan suku.

Kekerasan yang dilakukan militer dan diikuti sebagian pendeta Budha itu meliputi pembunuhan, pemerkosaan serta pembakaran, hingga memaksa hampir 700.000 warga Rohingya lari menyelamatkan diri ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh.

"Dia (Suu Kyi) harus berhenti berlagak tuli atas penyiksaan warga Rohingya atau ia terancam dianggap terlibat dalam kejahatan itu," kata pegiat Yaman, Tawakkol Karman, dalam jumpa pers di Dhaka setelah mendatangi tempat penampungan pengungsi di Cox's Bazar, di ujung selatan Bangladesh, Rabu (1/3).

"Bangun lah atau akan menghadapi tuntutan," kata Karman, yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2011. Suu Kyi sendiri adalah penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991 karena dianggap berjasa memperjuangkan demokrasi selama berpuluh-puluh tahun di Myanmar di bawah ancaman rezim militer saat itu.

"Kalau dia tidak bisa (menghentikan kekerasan), pilihan bagi dia adalah jelas: mengundurkan diri atau harus diadili, bersama para komandan tentara, atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan," tambah Karim.

Sejak berkuasa di myanmar pada 2016, Suu Kyi belum mengeluarkan kecaman atas kekerasan terhadap warga Rohingya yang dilakukan militer Myanmar.

Kekerasan tersebut mulai terjadi pada 25 Agustus 2017 setelah para pemberontak menyerang pos-pos polisi dan militer. Myanmar, yang mayoritas penduduknya beragama Budha, membantah tuduhan melakukan kekerasan dan mengatakan bahwa pasukan keamanannya bertempur untuk menjalankan operasi legal terhadap para "teroris", yang dianggapnya bersalah menyerang pasukan keamanan.

Pegiat HAM asal Irlandia Utara, Mairead Maguire, mengatakan ia mendengar ada sejumlah perempuan yang diperkosa berkali-kali, keluarga-keluarga yang dibunuhi dan cerita-cerita soal anak-anak yang dilemparkan ke api dan ditenggelamkan di sungai.

"Penyiksaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap siapa pun anggota keluarga kemanusiaan kita harus ditentang, seperti dalam kasus genosida (pembersihan etnis) Rohingya," kata Maguire, peraih Nobel Perdamaian pada 1976. "Ini adalah genosida. Kita tidak bisa tinggal diam. Diam berarti terlibat," tegasnya.

Para penerima Nobel itu mendesak pelaku kekerasan diseret ke Mahkamah Kejahatan Internasional. "Lebih dari satu juta warga Rohingya kehilangan tempat tinggal, banyak yang meninggal atau hilang, dan pemerkosaan serta kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang, sudah saatnya masyarakat internasional segera bertindak," kata pengacara asal Iran, Shirin Ebadi, yang pada 2003 menjadi perempuan Muslim pertama yang dianugerahi Nobel Perdamaian.

Tawakkol Karman mengatakan ketiga peraih Nobel Perdamaian itu telah berencana untuk mendatangi Myanmar. Karman mengatakan mereka telah mengirim sejumlah pesan kepada rekan mereka, Suu Kyi, namun pesan-pesan itu tidak pernah dibalas. "Kami perlu tahu apa yang sedang terjadi di sana," pungkasnya.(Reuters/AFP/OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya