Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
HABIBULAH Ali harus menyabung nyawa demi menyelamatkan ribuan gulungan film saat Taliban menyerbu kantor perusahaan film milik pemerintah di pertengahan 1990-an.
Dia paham nyawanya akan melayang seandainya Taliban mengetahui aksinya.
"Kalau saja Taliban tahu bahwa kami sengaja menyembunyikan film-film itu, tamat sudah riwayat kami," ungkap Ali sambil mendekap sebuah gulungan film.
Taliban yang berpaham ultrakonservatif melarang segala bentuk hiburan, termasuk musik dan film, ketika menguasai Afghanistan sejak 1996 hingga 2001.
Namun, kelompok itu gagal menghancurkan sekitar 7.000 film berharga yang disembunyikan Ali bersama rekan-rekannya di Kantor Afghan Film.
Dua dekade kemudian, film-film berharga yang menggambarkan kondisi Afghanistan sebelum perang itu akan diubah ke bentuk digital agar dapat ditonton kembali.
"Syukurlah film-film ini terselamatkan dan kini kami bisa menghidupkannya kembali," tutur Ali, 60, yang sudah bekerja di perusahaan film selama 36 tahun itu.
Mohammad Ibrahim Arify sebagai direktur jenderal Afghan Film memimpin proyek digitalisasi film tersebut.
"Dulu gulungan film-film ini disimpan di dalam kaleng lalu dikubur. Ada juga yang disimpan dalam kamar tersembunyi atau di langit-langit gedung," tutur Arify.
Arify mengatakan pihaknya menyimpan film 16 mm berdurasi 32 ribu jam dan film 35 mm berdurasi 8.000 jam.
Upaya pendataan film masih terus berlanjut karena banyak warga datang menyerahkan film yang juga mereka sembunyikan dari Taliban.
Proses digitalisasi itu memang makan waktu.
Pertama, gulungan film itu dibersihkan dari debu dan goresan.
Selanjutnya film ditonton menggunakan proyektor.
Afghan Film kemudian mencatat nama, tanggal, dan nomor gulungan kemudian mengklasifikasinnya sebagai film atau tayangan dokumentar.
Terakhir, gulungan itu dimasukkan ke sebuah mesin yang akan mentransfernya ke bentuk digital.
Proyek digitalisasi ini dimulai sejak awal 2017. Arify berharap proses itu selesai dalam waktu dua tahun.
"Kami bangga dengan proyek ini karena kami menghidupkan kembali budaya Afghanistan yang sempat mati," ujarnya.
Film-film yang dibuat perusahaan film negara Afghanistan sangat populer pada 1970-an.
Tayangan berbahasa Farsi dan Pashto itu biasanya bertema budaya, persahabatan, dan asmara.
Dalam sebuah penayangan baru-baru ini di Kedutaan AS di Kabul, terlihat gambaran Afghanistan masa lalu yang berbeda sekali dengan kondisi masa kini.
Terlihat misalnya keluarga-keluarga yang sedang berlibur di taman dengan riang gembira, perempuan-perempuan berjalan sambil mengenakan rok pendek.
Tidak terlihat tembok-tembok beton tahan peluru dan bom yang kini menjadi pemandangan umum di Kabul.
"Saya sangat sedih menontonnya karena tidak pernah mengalami masa-masa damai seperti itu. Negara lain terus maju, sedangkan kami sekarang malah merasa makin terbelakang," tutur seorang penonton, Arif Ahmadi, yang berusia 34 tahun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved