Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
Dalam kasus Rohingya, medsos menunjukkan dualitasnya. Di satu sisi, seluruh dunia mengetahui kondisi rohingya melalui media sosial. Namun di saat yang sama, media sosial juga mengabarkan rohingya dengan hoax, fakenews, kabar bohong.
Hal itu disampaikan oleh pengamat komunikasi Agus Sudibyo di Jakarta, kemarin. Ia menyampaikan bahwa seluruh dunia mengetahui kondisi rohingya melalui media sosial. Solidaritas dan empati terbangun dan disebarkan melalui media sosial.
"Ketika media konvensional sulit menjangkau zona tertutup rakhine, media sosial tak bisa disensor, tak bisa dicegah untuk mengabarkan apa yang sedang terjadi ke seluruh dunia," ungkapnya.
Namun di saat yang sama, media sosial juga mengabarkan konflik rohingya dengan hoax, fakenews, kabar bohong. "Gambar-gambar sadis-dramatis hasil rekayasa berseliweran di media sosial dan berpotensi menyesatkan masyarakat," ujarnya.
Penyebaran foto-foto palsu dan hoax tersebut ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, juga dialami oleh komunitas internasional.
Dengan akses wartawan yang sangat terbatas ke wilayah Rakhine, informasi yang didapat pun menjadi samar dan simpang siur. Foto dan video yang diklaim berasal dari kekerasan 25 Agustus beredar luas. Sebagaian besar meradang, sebagian besar tak percaya.
Tak hanya Rohingya, Muslim Myanmar dan Buddha Myanmar juga diserang. Sebagian dari mereka tewas. PBB memperkirakan ada 40 ribu Rohingya yang memasuki perbatasan Bangladesh, membawa cerita yang mengerikan.
Belum usai tersebar foto dan video palsu, Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Simsek me-retweet empat foto soal Rohingya di akun Twitternya. Ia mendesak masyarakat internasional untuk menghentikan pembersihan etnis Rohingya.
Foto pertama menunjukkan sejumlah jasad yang membusuk. Namun ternyata foto itu ternyata adalah foto korban badai topan Nargis pada Mei 2008 silam.
Foto lainnya, sudah dipastikan BBC, bahwa foto tersebut berasal dari Rwanda pada Juli 1994. Foto tersebut bahkan digunakan untuk kompetisi fotografi yang memenangkan World Press Award.
Foto terakhir menunjukkan orang-orang terbenam di kanal. Namun, telah dipastikan bahwa foto tersebut adalah korban banjir di Nepal.
Unggahannya di-retweet lebih dari 1.600 kali dan disukai lebih dari 1.200 akun Twitter. Namun, keaslian foto-foto tersebut tampaknya diragukan. Tiga hari kemudian, Simsek menghapusnya. (MTVN/OL-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved