Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
KASUS pedofilia menggunakan akun Facebook, Loly Candy’s, menggambarkan ancaman pornografi di masyarakat sedemikian parah. Aparat kepolisian menyebut motif para pelaku ialah untuk mendapatkan uang dan kepuasan. Terkait dengan motif memperoleh kepuasan itu, tinjauan medis menyebutkan bahwasanya pornografi memang memicu kecanduan yang menuntut pemuasan secara terus-menerus. Bagaimana hal itu terjadi?
Dokter praktisi dan peneliti neurosains, Wawan Mulyawan, menjelaskan penelitian menunjukkan paparan pornografi membuat otak seseorang rusak secara fisik. “Ada bagian otak yang mengalami perubahan anatomi sehingga menjadi titik ketagihan terhadap pornografi. Pelaku menjadi dahaga terhadap sumber-sumber dan objek pornografi,” ujar dokter spesilis bedah saraf itu saat dihubungi, Selasa (21/3).
Ia menuturkan, berbagai penelitian sudah membuktikan hal itu. Termasuk pakar neurosains dari Amerika, Prof Donald Hinton, ahli bedah saraf senior yang gigih meneliti dampak pornografi terhadap otak. “Prof Hilton secara jelas telah menemukan bahwa anatomi otak orang yang sering terpapar pornografi akan berubah. Ada cacat di otaknya yang membuat orang tersebut terus-menerus mengejar hal-hal sensual dan erotis,” kata Wawan. “Level ketagihannya, menurut Prof Hilton, setara dengan ketagihan kokaina, narkoba yang sangat poten kekuatannya,” imbuhnya.
Kerusakan itu sulit dideteksi dengan pemeriksaan anatomi umum seperti CT scan dan MRI biasa. Tapi dengan fMRI (functional-MRI)hal itu bisa dideteksi. “Pada fMRI, ketika seorang pecandu diberi stimulasi gambar atau video porno, bagian-bagian yang cacat itu akan terlihat lebih aktif,” kata Wawan yang juga peneliti senior di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto TNI-AU, Jakarta itu.
Karena kerusakan itu bersifat permanen, lanjutnya, upaya untuk lepas dari ketagihan pornografi tergolong sulit. Jika pun sudah ‘sembuh’ dari kecanduan, kekambuhan mudah muncul. “Kerusakan otak yang terjadi ada yang bersifat global atau meliputi seluruh otak. Ada juga kerusakan khusus yang terjadi di area prefrontal. Nah, memori yang tertanam pada kerusakan global yang mungkin sudah dihapus akan bisa terpicu lagi dari sumber memori yang ada pada kerusakan lokal di area lobus frontal. Itulah yang memudahkan terjadinya kekambuhan,” katanya.
Meski sulit, sambung Wawan, bukan berarti kecanduan pornografi tidak bisa dipulihkan. Langkahnya meliputi upaya menjauhkan dari sumber pornografi, karantina, atau isolasi terbatas disertai konseling dengan psikolog dan psikiater. Lalu, dilanjutkan dengan kesibukan yang positif seperti olahraga. Tentu saja, Wawan menekankan, untuk melakukan langkah-langkah itu dibutuhkan dukungan keluarga dan lingkungan sekitar. “Untuk yang sudah menikah, cinta dan kepedulian pasangan yang sungguh-sungguh bisa menjadi obat paling mujarab,” imbuh Wawan.
Pedofilia
Terkait dengan pedofilia atau kelainan seksual yang menjadikan pelakunya terobsesi untuk melampiaskan hasrat seksual pada anak-anak, seperti yang dilakukan para pelaku kasus Loly Candy’s, menurut Wawan, kelainan itu bisa terjadi karena pengalaman awal saat seseorang mengenal atau terpapar pornografi maupun pornoaksi. “Karena sedari awal sering terpapar pornografi pedofilia atau karena pernah menjadi korbannya,” ujarnya.
Terpisah, dokter spesialis kesehatan jiwa Dharmawan A Purnama menjelaskan kelainan itu dapat disebabkan faktor psikologis, juga bisa karena faktor bawaan. “Untuk pedofilia bawaan penyebabnya masih belum bisa diketahui. Hipotesisnya karena faktor hormonal ketika dalam kandungan dan faktor keturunan,” tuturnya.
Menurut psikiater dari Klinik Smart Mind Center, Jakarta itu kasus terbanyak ialah pedofilia karena faktor psikologi. Misalnya, trauma karena semasa kecil pernah menjadi korban pedofilia. “Atau karena punya istri yang dominan, galak, sehingga secara psikologis dia jadi minder dan orientasi seksualnya berubah ke anak-anak. Secara psikologis dia merasa anak-anak tidak seperti figur istrinya yang dominan sehingga dia bisa memanipulasi anak-anak,” terangnya.
Dijelaskan Dharmawan, pedofilia bisa dipulihkan dengan psikoterapi. Tujuannya bukan untuk menyembuhkan, melainkan membuat pedofilia dapat mengendalikan dorongan seksualnya sehingga tidak melakukan tindakan melanggar hukum. “Kita dapat memberikan konseling untuk mengarahkan agar pengidap pedofilia pada pilihan yang bertanggung jawab sehingga dia mengetahui konsekuensi dari tindakannya,” ujar Dharmawan.
Psikoterapi lainnya ialah yang berorientasi pada tilikan, yakni pasien diberi kesempatan untuk mengerti dinamika dalam dirinya sendiri. “Sehingga dia mempunyai pemahaman akan dirinya sendiri, menerima keadaannya. Setelah itu kita ajak dia untuk memilih dengan memahami konsekuensinya. Dengan begitu, dia akan berpikir dan berupaya mengendalikan diri,” terangnya. Adapun terapi dengan obat-obatan, lanjutnya, tergantung kondisi pasien. “Kalau dia membutuhkan obat karena ada kecemasan atau depresi, kita berikan.” (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved