Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
KETERWAKILAN perempuan pada birokrasi dan level pengambil kebijakan dinilai masih rendah.
Karena itu, sistem meritokrasi di tiap institusi publik dan nonpublik harus diperkuat agar kaum hawa tidak boleh diam dan harus aktif menjemput bola.
Itu mengemuka pada seminar bertema Peran perempuan dalam kebijakan publik di Indonesia di Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, kemarin.
Hadir sebagai pembicara, Sekretaris Utama LAN Sri Hadiati WK, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Dewi Fortuna Anwar, dan Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani.
Sri Budi Eko Wardani mengatakan rendahnya keterwakilan perempuan dapat dipotret dari minimnya jumlah perempuan yang duduk jadi wakil rakyat di parlemen.
Di DPR, misalnya, perempuan hanya menguasai 17% kursi.
Adapun di DPRD provinsi hanya 14%, dan di DPRD kabupaten/kota hanya sekitar 12%.
"Padahal, undang-undang mewajibkan keterwakilan perempuan itu sebesar 30%," ujarnya.
Hal sama juga ditemukan pada level birokrasi. Kebanyakan posisi eselon diisi kaum laki-laki.
"Kenapa di posisi eselon itu jadi timpang? Padahal, perempuan yang mampu memimpin juga banyak. Seharusnya memang pengisian jabatan itu mengenali perempuan," ujar Dani, sapaan akrab Wardani.
Menurut dia, peran kaum perempuan yang duduk di parlemen krusial dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di berbagai sektor.
Pasalnya, di parlemen hak-hak perempuan diperjuangkan dan diupayakan jadi kebijakan publik.
"Karena itu, keterwakilan di parlemen menjadi tolok ukur bagi kemajuan perempuan Indonesia," tuturnya.
Di sisi lain, partai politik (parpol) berperan penting menjaga mutu perempuan yang duduk di parlemen.
Parpol tidak hanya memilih calon legislatif berdasarkan kewajiban affirmative action. Harus dipastikan perempuan yang terpilih memiliki kualitas dan kompetensi memadai.
"Pilih perempuan yang membutuhkan affirmative action tapi juga memang mumpuni. Jangan sekadar 'yang penting perempuan'. Di birokrasi juga demikian agar perempuan bisa berkompetisi sama dengan kelompok laki-laki," ujar dia.
Isu kultural
Sekretaris Utama LAN Sri Hadiati WK mengatakan, peluang bagi perempuan untuk menduduki puncak pimpinan di institusi pemerintahan kini sudah terbuka lebar.
Hanya, perempuan mesti lebih aktif menjemput bola.
"Banyak kementerian dan lembaga yang membuka open recruitment bagi jabatan eselon. Dengan rekrutmen terbuka, kesempatan kita (perempuan) terbuka luas. Selama memenuhi syarat, seharusnya perempuan aktif melamar. Harus mau bekerja keras" ujar Ati, sapaan akrab Sri Hadiati.
Diakui Ati, perempuan punya banyak potensi untuk maju.
Ini misalnya bisa dilihat dari tingginya skor Tes Potensi Akademik (TPA) mahasiswi di mayoritas perguruan tinggi di Indonesia.
Hanya, kemajuan perempuan kerap terkendala urusan domestik.
"Negara harus hadir memberi fasilitas agar perempuan bisa efektif bekerja, misalnya menyiapkan ruang laktasi, menyusui, dan bermain bagi anak. Jangan sampai potensi TPA yang besar itu sia-sia," ujarnya.
Deputi Sekretaris Wakil Presiden Dewi Fortuna Anwar menambahkan, saat ini hampir tidak ada regulasi yang menghambat perempuan dalam mengejar karier.
Diskriminasi atas kaum hawa pun relatif minim.
Menurut Dewi, persoalan utama yang menghambat perempuan untuk maju menduduki jabatan-jabatan tertinggi ialah isu kultural.
"Meski demokrasi kita cukup maju, tidak bisa dimungkiri sistem budaya masih ada yang terbelakang," ujarnya.
Karena itu, lanjut Dewi, peran keluarga dan suami penting menyokong kemajuan perempuan. Jika memutuskan mengejar karier, kaum perempuan cenderung menomorduakan keluarga.
Karena itu, suami harus ikut berbagi tanggung jawab dalam urusan domestik agar rumah tangga tetap harmonis.
"Kita harus ingat banyak perempuan yang menjadi tenaga kerja ke luar negeri dan menyumbang devisa sangat besar bagi Indonesia. Karena itu, mindset-nya memang harus diubah. Keluarga bukan terdiri dari ayah yang bekerja, ibu rumah tangga, dan anak, dan bukan hanya diurus oleh ibu. Pencari nafkah pun bisa jadi bukan hanya ayah," ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, kehidupan kaum perempuan saat ini jauh lebih baik ketimbang masa lalu.
Kesetaraan gender bukan lagi isu utama yang diperjuangkan dan hampir tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum hawa.
"Sudah banyak perempuan menunjukkan prestasi. Di wisuda di perguruan tinggi atau kelulusan sekolah, murid perempuan banyak yang memiliki peringkat terbaik. Namun, tentu masih perlu lebih banyak lagi dorongan di segala sisi, baik peran, pendidikan, kesehatan, dan perlindungannya yang lebih baik," pungkas Kalla.
(S-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved