ANAK-ANAK kecil itu berlarian di areal kentang di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng). Ada dari beberapa anak yang bermain itu memiliki rambut yang berbeda dengan kawan-kawan mereka. Rambut mereka seperti penyanyi Bob Marley atau kaum rastaria. Sejarah mencatat rambut gimbal disebut-sebut juga merupakan rambut Raja Firaun. Gimbalnya rambut juga ditemukan pada sosok Dewa Syiwa.
Anak-anak berambut gimbal tersebut biasanya muncul pada usia 40 hari hingga 6 tahun. Entah bagaimana bisa tiba-tiba muncul, tetapi umumnya didahului dengan demam dan panas tinggi. Keesokan harinya muncullah rambut gimbal. Untuk menghilangkannya dibutuhkan ruwatan. Di Dataran Tinggi Dieng, ada ruwatan yang digelar massal setiap tahun dan dibarengkan dengan gelaran Dieng Culture Festival (DCF).
Belum ada riset ilmiah, mengapa rambut gimbal muncul pada anak-anak di Dataran Tinggi Dieng. Di luar kawasan setempat tidak ada. Yang diketahui hanyalah setelah ada ruwatan dan rambut gimbal dipotong, rambut bakal tumbuh normal kembali.
Ternyata, moyang dari penduduk Dieng sudah terlebih dahulu berambut gimbal. Berdasarkan buku Serat Pareden Dieng, moyang Dieng pada awal setelah terjadinya pralaya atau bencana yang mengakibatkan umat Hindu meninggalkan Dieng berambut gimbal. "Setelah umat Hindu meninggalkan Dieng, datanglah Ki Rewog sekitar 1600. Ki Rewog boleh dikatakan sebagai awal moyang masyarakat sekarang ini," jelas Santosa menerangkan buku tulisan tangan dengan huruf Jawa itu.
Buku Serat Pareden Dieng tersebut memang baru dibuka isinya pada saat bedah buku yang dilangsungkan di Dieng Kulon pada Rabu (14/10) lalu atau saat 1 Sura berdasarkan penanggalan Jawa. Dalam buku tersebut disebutkan, ada tiga periode awalnya peradaban Dieng setelah Hindu, yakni mulai masa Ki Rewog, kemudian Ki Dite, hingga Ki Citra. "Uniknya, dalam buku itu diceritakan, Ki Rewog dan Ki Dite memiliki rambut panjang yang gimbal," ujarnya.
Buku yang awalnya dipegang Suryadi, ayah Santosa yang seorang Kepala Dusun Dieng Kulon sejak 1948-1989 dan sebagai Kasepuhan Dieng tersebut, juga menyebutkan ada kearifan lokal yang mulai berkembang di wilayah setempat. "Selama masa awal peradaban Dieng yang baru usai peradaban Hindu yang dimulai pada 1600 hingga 1700 Masehi tersebut, muncul beragam kearifan lokal," jelas Santosa yang menerima buku itu pada 1994.
Setelah membaca buku tersebut, mulai terkuak siapa sejatinya moyang dari warga Dieng. "Sebab, tidak mungkin moyang Dieng berasal dari warga Hindu yang telah menyingkir ke Jawa Timur dan Bali setelah adanya pralaya di Dieng. Ternyata, berdasarkan buku itu, memang ada orang lain yang datang dan menetap di Dieng. Bahkan, ada juga makam sebagian dari mereka yang dapat ditemukan saat ini," ujar dia. Terbentuk budaya Dengan kedatangan Ki Rewog yang dilanjutkan Ki Dite dan Ki Citra, dan warga yang bermukim di lokasi itu, terbentuklah interaksi dan munculnya budaya. Salah satu budaya yang muncul waktu itu dan hingga kini masih tetap dilestarikan ialah ritual potong rambut gimbal. "Ternyata, berdasarkan buku Serat Pareden tersebut, budaya ruwatan rambut gimbal telah tercatat. Ruwatan rambut gimbal telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Dieng dari dulu hingga kini," ujar Santosa.
Dengan catatan tersebut, secara turun-temurun rambut gimbal menjadi identitas tak terpisahkan dari warga di Dieng. Bahkan, sampai sekarang fenomena rambut gimbal tersebut masih terus terjadi. "Untuk memotong rambut gimbal yang muncul, ada prosesi ruwatan. Tanpa ada prosesi ruwatan, rambut gimbal bakal muncul kembali," kata dia.
Kebudayaan khas Dieng lainnya ialah baritan. Kata baritan sebetulnya kependekan dari bubarake peri lan setan atau membubarkan peri dan setan, melalui kegiatan adat sedekah bumi. Dalam upacara itu, ada persembahan khusus berupa penyembelihan kambing, tetapi harus memenuhi syarat, yakni kambing kendit--kambing berbulu hitam dengan bulu bergaris melintang di tubuhnya. Setelah disembelih, keempat kaki kambing dikubur di empat sudut desa.
Hasil interaksi masyarakat Dieng dengan alam lingkungan waktu itu juga memunculkan kearifan lokal dalam arsitektur rumah dan pakaian penduduk Dieng. Disebutkan, rumah warga Dieng bergaya limasan, pendek, beratapkan sirap, dan berdinding kayu. Uniknya, rumah milik warganya dilengkapi dengan pintu, tanpa jendela. Inilah kearifan lokal yang terbentuk dari hasil interaksi dengan alam dan lingkungan yang ada.
"Warga mula-mula yang menempati Dieng Kulon tersebut sadar kondisi alam yang dingin memerlukan rumah yang rapat. Apalagi, pada zaman itu, kondisi hutan masih cukup lebat dan dihuni berbagai jenis hewan liar seperti macan," ungkapnya.
Kearifan lokal tersebut sesungguhnya juga terjadi pada zaman Hindu, di saat candi-candi di Dieng dibangun sebagai tempat pemujaan dan ziarah. Selain membangun candi, para pendeta waktu itu membangun rumah-rumah yang diperuntukkan para tamu yang berziarah. "Fondasi yang dibangun memakai batu andesit atau sama dengan batuan yang dipakai untuk membuat candi. Bangunan itu muncul sejak sekitar tahun 700," ujar Santosa.
Santosa mengatakan kekhasan lainnya ialah pakaian yang dikenakan warga mula-mula di Dieng Kulon. Laki-laki mengenakan celana panjang hitam dan baju lengan panjang warga hitam disertai dengan ikat kepala hitam atau biasa disebut dengan iket wulung, sedangkan untuk perempuan sama halnya dengan wanita Jawa, yakni dengan kebaya dan jarit serta rambutnya digelung.
Menurut Santosa, buku tersebut memang merupakan catatan sejarah yang pengarangnya anonim. Hanya, buku yang diperkirakan mulai ditulis pada 1950 tersebut secara detail menceritakan kebudayaan masa itu.
Arkeolog dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Jajang Agus Sonjaya mengungkapkan ada beberapa hal yang terungkap dalam Serat Pareden itu. Padahal, sebelumnya masyarakat masih meraba-raba, siapa sebetulnya nenek moyang mereka. "Dengan adanya buku ini, setidaknya bisa membuka wacana yang selama ini belum diketahui. Selain itu, buku tersebut semakin melengkapi bagaimana Dieng waktu itu," jelasnya seusai bedah buku tersebut.
Jajang yang juga pendiri Studio Perancangan Arsitektur dan Kawasan Arkeologis menambahkan buku Serat Pareden itu sebetulnya merupakan bentuk etnografi. Bukunya mendeskripsikan kebudayaan lokal secara mendalam pada zamannya. "Inilah kekayaan yang dimiliki penduduk. Setiap hari, mereka mendiskusikan mengenai apa yang terkandung dalam buku tersebut. Setidaknya mereka akan tahu bagaimana kondisi kearifan lokal Dieng masa itu," ujarnya.
Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno menaruh perhatian lebih terhadap buku tersebut. Kesejarahan yang selama ini masih 'abu-abu' mulai terbuka dengan adanya buku Serat Pareden tersebut. "Alangkah eloknya kalau buku itu juga segera diterjemahkan dari huruf Jawa ke Latin dan bahasa Indonesia sehingga isi buku dapat diketahui masyarakat luas," tandasnya. (M-2)