Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
GUNUNG Everest, puncak tertinggi di dunia, bukan hanya tantangan bagi para pendaki, tetapi juga menyimpan kisah tragis. Banyak pendaki yang gagal mencapai puncak atau kembali dengan selamat, dan beberapa di antaranya tetap tertinggal di sana dalam bentuk mayat. Mengapa mayat pendaki ini tidak dibawa turun? Artikel ini akan menjelaskan alasannya dengan bahasa yang mudah dipahami.
Gunung Everest terletak di ketinggian lebih dari 8.848 meter di atas permukaan laut. Di zona kematian (death zone) di atas 8.000 meter, udara sangat tipis, suhu bisa mencapai -40°C, dan badai salju sering terjadi. Kondisi ini membuat evakuasi mayat menjadi sangat sulit. Membawa turun mayat dari ketinggian tersebut membutuhkan tenaga, waktu, dan risiko besar bagi tim penyelamat.
Di ketinggian ekstrem Gunung Everest, oksigen sangat terbatas. Pendaki harus menggunakan tabung oksigen untuk bertahan hidup. Membawa mayat yang berat terkadang beku dan sulit dipindahkan akan menghabiskan tenaga dan persediaan oksigen. Hal ini bisa membahayakan nyawa pendaki lain yang mencoba membantu.
Ekspedisi ke Gunung Everest sudah memakan biaya puluhan ribu dolar per orang. Evakuasi mayat membutuhkan tim khusus, peralatan tambahan, dan waktu yang lama. Biaya untuk misi evakuasi bisa mencapai ratusan ribu dolar, dan tidak semua keluarga pendaki mampu membiayainya. Pemerintah Nepal dan Tibet juga tidak menyediakan dana untuk misi semacam ini.
Jalur pendakian Gunung Everest penuh dengan celah es, tebing curam, dan salju yang tidak stabil. Membawa mayat melalui medan ini hampir tidak mungkin tanpa membahayakan tim penyelamat. Beberapa mayat bahkan terjebak di lokasi yang sangat sulit dijangkau, seperti celah-celah sempit atau dinding es.
Dalam budaya pendakian, Gunung Everest dianggap sebagai tempat suci oleh banyak pendaki. Beberapa pendaki yang meninggal di sana dianggap telah “menemukan rumah terakhir” di gunung tersebut. Keluarga pendaki kadang memilih untuk meninggalkan jenazah di gunung sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka. Selain itu, beberapa mayat menjadi penanda jalur (seperti “Green Boots”), meskipun ini kontroversial.
Mencoba mengevakuasi mayat bisa membahayakan pendaki lain yang sedang menuju puncak. Jalur pendakian sering kali sempit, dan proses evakuasi bisa menyebabkan kemacetan, meningkatkan risiko kecelakaan atau kematian akibat cuaca buruk.
Banyak mayat di Gunung Everest membeku karena suhu ekstrem. Proses pembekuan ini membuat mayat sulit dipindahkan tanpa alat khusus. Seiring waktu, beberapa mayat tertutup salju atau menjadi bagian dari lanskap gunung. Ini membuat evakuasi semakin sulit, terutama untuk mayat yang sudah lama berada di sana.
Diperkirakan ada lebih dari 200 mayat yang masih berada di Gunung Everest. Beberapa di antaranya sudah berada di sana selama puluhan tahun. Karena sulitnya evakuasi, banyak dari mereka tetap di tempat mereka meninggal, menjadi pengingat akan bahaya pendakian.
Meskipun evakuasi mayat jarang dilakukan, ada upaya untuk membersihkan Gunung Everest dari sampah dan beberapa jenazah. Pada tahun 2019, tim pembersihan Nepal berhasil membawa turun beberapa mayat bersama ton sampah. Namun, misi ini sangat berbahaya dan tidak bisa dilakukan secara rutin. Fokus utama biasanya adalah membersihkan sampah, bukan mayat, karena alasan keselamatan dan biaya.
Meninggalkan mayat di Gunung Everest mungkin terdengar mengerikan, tetapi ada alasan kuat di baliknya. Kondisi ekstrem, biaya tinggi, risiko keselamatan, dan tradisi pendakian membuat evakuasi menjadi pilihan yang hampir mustahil. Gunung Everest tetap menjadi simbol keberanian sekaligus pengingat akan bahaya yang mengintai di puncak tertinggi dunia. (Z-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved