Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Budaya Filantropi di Indonesia Telah Bertransformasi Dari Tradisi Menjadi Kekuatan Sosial

Ficky Ramadhan
07/8/2025 18:02
Budaya Filantropi di Indonesia Telah Bertransformasi Dari Tradisi Menjadi Kekuatan Sosial
Ketua Dewan Penasihat Filantropi Indonesia, Franciscus Welirang menyampaikan pemaparaan saat acara Filantropi Festival 2025 ( FIFEST2025) di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamsi (7/8/2025)(DOK MI)

Dalam beberapa dekade terakhir, budaya kedermawanan di Indonesia terus menunjukkan daya hidup dan relevansinya. Budaya gotong royong, sedekah, dan zakat yang dahulu hanya dipandang sebagai tradisi kini telah berevolusi menjadi kekuatan sosial yang terorganisir dan strategis dalam pembangunan bangsa.

Ketua Dewan Penasihat Filantropi Indonesia, Franciscus Welirang mengatakan bahwa nilai-nilai kedermawanan seperti gotong royong merupakan bagian dari falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila.

Namun menurutnya, peran filantropi kini tidak lagi bersifat one-time giving, melainkan berkembang menjadi instrumen penting yang melampaui fungsi karitatif.

"Kini, filantropi telah berkembang menjadi instrumen penting dalam pembangunan, melampaui fungsi karitatifnya dan mengambil peran kunci dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)," kata Franciscus dalam kegiatan FIFest 2025 di Jakarta, Kamis (7/8).

Franciscus menekankan bahwa filantropi bukan semata-mata tentang memberi uang. Lebih dari itu, filantropi adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat dan membentuk kemandirian menuju kesejahteraan.

"Kedermawanan atau filantropi bukan sekadar memberi uang secara tebal, tapi dana untuk memberdayakan dan membentuk masyarakat yang mandiri menuju kesejahteraan," ujarnya.

Kendati demikian, tentunya transformasi filantropi ini tidak datang tanpa adanya tantangan. Di tengah kompleksitas zaman, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk merekonstruksi budaya filantropi, menyusun ulang nilai, prinsip, dan arah geraknya agar tetap relevan dan berdampak nyata.

Filantropi Indonesia juga dihadapkan pada kebutuhan untuk menghindari tumpang tindih aktivitas dan memperkuat ekosistem kolaboratif yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, filantropi masa kini harus terorganisir, terukur, dan akuntabel, dengan fokus pada dampak nyata yang bisa dirasakan masyarakat.

"Nilai-nilai seperti kebersamaan, kepedulian, dan keterbukaan sangat penting untuk terus ditanamkan. Selain itu, penguatan budaya filantropi bukan hanya soal memperkuat kelembagaan, tetapi juga memastikan ia berakar pada nilai-nilai lokal dan spiritual masyarakat," jelasnya.

Lebih lanjut, Franciscus juga menegaskan pentingnya membangun ekosistem hibrida yang memadukan kekuatan nilai-nilai lokal dan agama dengan inovasi teknologi dan praktik modern.

Pendekatan ini, menurutnya, akan memperluas kolaborasi lintas sektor, mulai dari individu, komunitas, organisasi keagamaan, korporasi, hingga platform digital, untuk meningkatkan transparansi dan dampak sosial yang lebih luas.

"Filantropi adalah juga menyumbangkan tenaga, pikiran. Jadi itu adalah orang-orang filantropis, bukan hanya uang saja. Dan tidak bisa hanya satu lembaga, harus bersama-sama," tuturnya. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya