Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
Dalam beberapa dekade terakhir, budaya kedermawanan di Indonesia terus menunjukkan daya hidup dan relevansinya. Budaya gotong royong, sedekah, dan zakat yang dahulu hanya dipandang sebagai tradisi kini telah berevolusi menjadi kekuatan sosial yang terorganisir dan strategis dalam pembangunan bangsa.
Ketua Dewan Penasihat Filantropi Indonesia, Franciscus Welirang mengatakan bahwa nilai-nilai kedermawanan seperti gotong royong merupakan bagian dari falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
Namun menurutnya, peran filantropi kini tidak lagi bersifat one-time giving, melainkan berkembang menjadi instrumen penting yang melampaui fungsi karitatif.
"Kini, filantropi telah berkembang menjadi instrumen penting dalam pembangunan, melampaui fungsi karitatifnya dan mengambil peran kunci dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)," kata Franciscus dalam kegiatan FIFest 2025 di Jakarta, Kamis (7/8).
Franciscus menekankan bahwa filantropi bukan semata-mata tentang memberi uang. Lebih dari itu, filantropi adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat dan membentuk kemandirian menuju kesejahteraan.
"Kedermawanan atau filantropi bukan sekadar memberi uang secara tebal, tapi dana untuk memberdayakan dan membentuk masyarakat yang mandiri menuju kesejahteraan," ujarnya.
Kendati demikian, tentunya transformasi filantropi ini tidak datang tanpa adanya tantangan. Di tengah kompleksitas zaman, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk merekonstruksi budaya filantropi, menyusun ulang nilai, prinsip, dan arah geraknya agar tetap relevan dan berdampak nyata.
Filantropi Indonesia juga dihadapkan pada kebutuhan untuk menghindari tumpang tindih aktivitas dan memperkuat ekosistem kolaboratif yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, filantropi masa kini harus terorganisir, terukur, dan akuntabel, dengan fokus pada dampak nyata yang bisa dirasakan masyarakat.
"Nilai-nilai seperti kebersamaan, kepedulian, dan keterbukaan sangat penting untuk terus ditanamkan. Selain itu, penguatan budaya filantropi bukan hanya soal memperkuat kelembagaan, tetapi juga memastikan ia berakar pada nilai-nilai lokal dan spiritual masyarakat," jelasnya.
Lebih lanjut, Franciscus juga menegaskan pentingnya membangun ekosistem hibrida yang memadukan kekuatan nilai-nilai lokal dan agama dengan inovasi teknologi dan praktik modern.
Pendekatan ini, menurutnya, akan memperluas kolaborasi lintas sektor, mulai dari individu, komunitas, organisasi keagamaan, korporasi, hingga platform digital, untuk meningkatkan transparansi dan dampak sosial yang lebih luas.
"Filantropi adalah juga menyumbangkan tenaga, pikiran. Jadi itu adalah orang-orang filantropis, bukan hanya uang saja. Dan tidak bisa hanya satu lembaga, harus bersama-sama," tuturnya. (H-1)
Filantropi berfokus pada penghapusan masalah sosial di akarnya, melalui tindakan kemanusiaan seperti menyumbang, menjadi sukarelawan, atau memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.
Hari Amal Sedunia yang diperingati setiap 5 September menjadi momen penting untuk mengakui dan merayakan upaya membantu sesama melalui kegiatan sukarela dan filantropi.
Charity Fun Run bukan hanya kegiatan yang menyehatkan, tetapi juga sebagai wadah untuk membangun rasa kebersamaan dan filantropi.
Buku itu juga memuat capaian-capaian serta kontribusi Perhimpunan Filantropi Indonesia dinsektor pendidikan.
Kesadaran terhadap isu perubahan iklim meningkat di antara lembaga filantropi, bahkan pada lembaga yang tidak terkait langsung dengan isu-isu perubahan iklim.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved