Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
Di kalangan komunitas tuli, nama Bagja Prawira tidaklah asing. Ia adalah aktivis yang rajin menyuarakan pemenuhan hak masyarakat tuli sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai budaya tuli. Ketika pandemi covid-19 melanda, misalnya, Bagja bersama enam aktivis tuli mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi soal kurangnya pemenuhan hak masyarakat tuli atas informasi soal virus tersebut.
Pria bernama lengkap Bagja Wiranandhika Prawira tersebut juga mendirikan Silang.id, sebuah platform yang berfokus untuk meningkatkan aksesibilitas untuk teman-teman tuli yang ia dirikan bersama Ahmad Yusuf dan Hady Ismawan pada 2019.
Keterlibatan Bagja sebagai aktivis tuli tidak lepas dari pengalaman hidupnya. Terlahir dengan pendengaran tak sempurna (half of hearing) dengan telinga kanan tuli, Bagja sejak kecil melewati tantangan yang cukup berat.
Di usia sekolah, Bagja harus berusaha belajar lebih keras agar bisa mendaftar di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa (SLB). "Saya waktu itu memakai alat bantu dengar,"kata Bagja kepada Media Indonesia.
Sempat kesulitan belajar, lama-lama Bagja terbiasa mengikuti pelajaran di kelas. Alat bantu dengar dan telinga kiri yang masih bisa mendengar membuat dia bisa berkomunikasi secara verbal dengan teman-temannya. Ia pun berhasil melewati tingkat pendidikan taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
MENDADAK SENYAP
Namun, hidupnya berubah ketika pada 2016 dunianya mendadak senyap. Telinga kanannya tidak bisa mendengar sama sekali. "Saya ingat waktu itu ada gerhana matahari, saya sedang mandi dan melihat pintu kamar mandi bergerak-gerak seperti ada yang menggedor-gedor," katanya. Rupanya itu sang ibunda yang sejak dari tadi memanggilnya, tapi tak ia gubris. "Saya bingung, kok, suara mama saya tidak ada, biasanya saya bisa mendengar, apa mama sakit, ya."
Rupanya bukan suara ibunya yang tak ada, tapi Bagja yang tidak lagi bisa mendengar. "Dunia terasa runtuh, seperti mimpi," kata Bagja. Bagja yang saat itu duduk di bangku kuliah sempat kehilangan harapan. Selama tiga bulan dia memilih mengurung diri di rumah.
"Saya takut bertemu orang, bingung bagaimana kuliah saya, bagaimana kalau bertemu teman-teman, saya takut saat bertemu orang komunikasinya tidak nyambung,"tuturnya.
MENJADI TULI
Dibantu sang ibunda, pelan-pelan Bagja mulai membuka diri. Awalnya ia belajar berkomunikasi dengan tetangga dekat. Caranya dengan membaca gerak bibir lawan bicaranya. "Kalau tidak paham, saya minta diulangi secara perlahan," ujar Bagja.
Hingga dua tahun kemudian, Bagja mulai bertemu sesama tuli. Kepercayaan dirinya pun mulai kembali menguat. Apalagi ada beragam aktivitas yang bisa dia ikuti di komunitas tuli. "Aku seperti pulang ke rumah," kenang Bagja.
Bagja merasa seperti seorang mualaf saat masuk ke dunia tuli. Imannya belum kuat. Kadang-kadang muncul keraguan apakah dia mampu menerima kata tuli dan berkomunikasi dengan bahasa isyarat seperti teman-teman tuli lainnya.
Ia bahkan sempat merasakan krisis identitas. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perasaan itu hilang dengan sendirinya. Meskipun sempat kesulitan memahami bahasa isyarat yang menurutnya memiliki struktur berbeda, dalam waktu kurang dari lima bulan Bagja sudah menguasai bahasa tersebut.
SUSUN KURIKULUM
Kini Bagja sudah terbiasa menggunakan bahasa isyarat dan menggunakan juru bahasa isyarat ketika harus berkomunikasi dengan teman dengar. Bagi Bagja, kemahiran menggunakan bahasa isyarat mampu menjembatani komunikasi antara teman tuli dan teman dengar. Sebagai co-founder yang juga komando business development and branding Silang.id, Bagja juga ikut menyusun kurikulum bahasa isyarat di Silang yang juga memberikan pelatihan bahasa isyarat.
Agar bahasa isyarat memiliki standardisasi yang mumpuni, ia menerapkan silabus common European framework of reference (CEFR), konsep standardisasi kemampuan bahasa asing yang biasa digunakan di Eropa. Penerapan kurikulum itu menggunakan pendekatan plurilingualism dan disability equality training (DET) dengan melibatkan pengajar dari teman tuli dalam proses desain, implementasi, dan evaluasi program.
Untuk penyusunan kurikulum bahasa isyarat di Silang, CEFR diimplementasikan melalui enam tingkatan pembelajaran meliputi level discovering bahasa isyarat Indonesia (bisindo)/ (mini bisindo-pra-A1), A1 (beginner), A2 (elementary), B1 (intermediate), B2 (upper intermediate), dan C1 (advanced).
"Kami tidak sekadar mengajarkan isyaratnya, tapi juga dimulai dari linguistik, ekspresi, kemudian kosaisyarat yang benar-benar mewakili konsep dari satu kalimat dengan penjelasan lebih dalam."
KEDUA PIHAK BELUM TEREDUKASI
Bagja juga aktif mengadvokasi aksesibilitas bagi teman tuli. Dari sana ia juga menemukan bahwa persoalan terkait dunia tuli tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari internal tuli sendiri. "Masyarakat umum belum teredukasi bagaimana cara berinteraksi dengan teman tuli. “Di beberapa situasi, teman tuli tidak diterima oleh masyarakat karena tidak dapat berkomunikasi," ucap Bagja.
Bagi masyarakat umum, bahasa isyarat dianggap asing, begitu pun pandangan teman tuli terhadap bahasa verbal.
Kondisi itu merembet ke berbagai sektor, termasuk pendidikan. Teman tuli banyak yang mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) yang kurikulumnya sangat berbeda jauh dengan kurikulum umumnya.
"Kenapa? Karena menyesuaikan dengan kemampuan si tuli tersebut. Jadi otomatis ada beberapa informasi yang seharusnya dipahami teman-teman tuli, tapi tidak diberikan," tutur Bagja.
Imbasnya, di dunia kerja pun teman-teman tuli tak bisa bersaing dengan mereka yang tidak tuli. Belum lagi masih kuatnya stigma dan stereotipe terhadap orang tuli. Mereka dianggap tidak bisa berkomunikasi dan oleh karenanya tak bisa berkontribusi. Padahal, teman tuli punya cara lain untuk berkomunikasi, misalnya dengan menulis atau dengan bantuan juru bahasa isyarat.
HADAPI PENOLAKAN INTERNAL
Di sisi lain, menurut Bagja, tantangan dunia tuli terkadang justru berasal dari dalam komunitas sendiri yang masih bersifat ekslusif, belum terbuka untuk bisa menyesuaikan atau berbaur dengan masyarakat umum yang bisa mendengar.
"Tak mau belajar dari luar, masih berfokus pada pemenuhan hak, akses, dan lainnya, mau sampai kapan seperti itu. Padahal masyarakat sendiri tidak semuanya melakukan diskriminasi kepada teman-teman tuli," papar Bagja.
Di awal pendiriannya, Silang bahkan sempat mendapat penolakan dari komunitas tuli lantaran dua pendirinya bukan disabilitas tuli. Sebagai satu-satunya pendiri Silang yang tuli, Bagja berupaya meredakannya dengan merangkul mereka di setiap kegiatan Silang.id.
"Yang paling kunci adalah melibatkan komunitas tuli, dari pelatihan, kegiatan festival, sampai melibatkan UMKM tuli di berbagai acara yang kita adakan,"tandas Bagja. (X-5)
Hafsah tak sendiri, melainkan bersama 9 difabel lainnya turut meningkatkan kapasitas melalui pelatihan ini.
Lucia mengatakan ia akan memperlebar kelas group online yang ia miliki dan juga mempromosikan Bisindo melalui kelas private maupun group daring.
Pastinya kita mau yang terbaik, apalagi ajang ini membawa nama negara kita.
KONSER Bingah Yura sukses digelar dengan penuh kemeriahan pada (2/2). Konser tersebut tidak menghadirkan pertunjukan musik biasa tetapi pengalaman inklusif untuk teman tuli
Sejenak berjalan kaki dari Taman Ayodia di kawasan Jalan Barito, Jakarta Selatan yang sejuk nan hijau kita akan berjumpa dengan Sunyi Coffee.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved