Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
MESKIPUN Hari Santri telah berlalu pada 22 Oktober, peranan santri akan terus ditunggu dalam kiprah pembangunan moral bangsa ke depan. Mengingat dalam beberapa minggu terakhir ini umat Islam disibukkan oleh kegaduhan politik berupa demonstrasi pada 4 November lalu, dalam konteks Hari Santri patut dipertanyakan berapa banyak di antara mereka yang terlibat dalam demonstrasi tersebut pernah memiliki pengalaman nyantri, dan mengerti nilai-nilai keteladanan yang harus terus disebarkan oleh para santri?
Apakah masih masih relevan membicarakan peran keteladan santri jika karekter muslim Indonesia lebih didominasi oleh perilaku radikal cenderung kurang bisa mengakui keberagamaan? Penetapan HSN oleh pemerintah patut diapresiasi untuk mengakui kiprah santri dan pesantren. Momentum HSN dalam dua tahun ini masih berkutat pada tema Resolusi jihad yang dicetuskan oleh hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 untuk jihad melawan sekutu yang puncaknya ialah peristiwa 10 November di Surabaya.
Tema yang konstekstual ketika Indonesia sedang menghadapi radikalisme-akstremisme atas nama Islam seperti yang kita saksikan beberapa minggu terakhir ini. Kehadiran pesantren telah memberi warna tersendiri bagi Indonesia. Dari perjuangan melawan kolonialisme, kemandirian ekonomi, dan khususnya di bidang pendidikan keislaman. Integrasi antara ilmu, amal, dan akhlak yang dilaksanakan di pesantren berdampak pada lahirnya sekelompok umat Islam yang berpikir terbuka (inklusif) terhadap pemikiran yang berbeda, toleran kepada orang lain, serta berjiwa nasionalis.
Sebagai sistem pendidikan yang kini dikaitkan dengan implementasi model boarding school (sekolah asrama), pesantren memungkinkan santri (siswa) untuk belajar sepanjang hari. Karena para santri tinggal bersama di pondok, pada akhirnya akan membentuk pola hidup komunal dengan segala dinamikanya. Boarding school lewat sistem pesantren dengan demikian melebihi ekspektasi dari full day school (sekolah sepanjang hari) yang mengandaikan siswa belajar dari pagi sampai hari di sekolah.
Perbedaan signifikan dengan sistem pesantren ialah santri tidak hanya belajar di satu lembaga pendidikan. Misalnya, santri pada pagi sampai siang menjadi siswa di sekolah atau madrasah, sore dan malam hari menjadi santri yang belajar di pesantren dengan penekanan pada pengajian kitab kuning. Artinya, santri mengenyam dua model pendidikan sekaligus, yakni kurikulumnya bersifat nasional dan lokal. Itu belum ditambah dengan pergaulan santri sehari-hari, dari makan, tidur, bercengkerama, dengan santri lainnya sehingga memungkinkan santri untuk mengenal karakter teman-temannya yang datang dari budaya, tradisi, nilai, dan kebiasaan lain. Kondisi demikian menjadi bibit untuk menumbuhkan sikap toleransi yang berasakan kebinekaan.
Keteladanan dari dekat
Pendidikan karakter menjadi tujuan pendidikan di Indonesia sejak lama. Anak-anak Indonesia diharapkan memiliki kecakapan (keterampilan) dan berakhlak. Salah satu aspek yang mulai meluntur dari pendidikan di Indonesia ialah keteladanan. Seringkali keteladanan dari figur dihadirkan dari dunia yang jauh dan berjarak dari anak didik. Pengetahuan terhadap nilai-nilai utama dari figur datang kepada siswa melalui informasi dari media massa yang sarat dengan pencitraan atau disampaikan orang lain yang sangat mungkin disertai subjektivitas dan distorsi informasi.
Di lembaga pendidikan nonpesantren, keteladanan tidak hadir secara kukuh sebagaimana di pesantren. Misalnya keteladanan kepala sekolah atau guru berlangsung dalam waktu yang singkat. Interaksi pemimpin dan pengajar 'hanya' berlangsung di sekolah. Sementara untuk menjadi tokoh teladan, kepala sekolah dan guru merupakan jabatan yang bisa dipindahtugaskan ke sekolah lain. Di pesantren, figur kiai merupakan teladan utama bagi santri dan masyarakat sekitar.
Kehadiran kiai bukan hanya saat mengajar dan mengaji, tetapi hadir melalui perilaku keseharian. Guru dan ustaz bisa saja pindah tugas.
Namun, kiai akan terus menjadi pemimpin pesantren untuk kemudian dilanjutkan dengan keturunannya. Dalam Islam, keteladanan utama hadir pada diri Rasulullah SAW yang menjadi uswatun hasanah (contoh yang baik) dan mutlak dicontoh oleh setiap umat Islam. Namun, figur Rasulullah sebagai insanulkamil (manusia sempurna) hampir 'mustahil' dapat ditiru oleh generasi sekarang. Maka, figur yang tepat untuk meneladani Rasulullah ialah pada sosok kiai, pengasuh pesantren, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad,
"Sesungguhnya ulama ialah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, dan Abu Dawud). Salah satu aspek dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter ialah konfirmasi (Nucci dan Narvaez, 2014). Kehadiran kiai bagi seorang santri begitu dekat dan nyata. Santri bisa melihat keadaan ndalem (rumah) kiai dan keluarganya. Dengan demikian, santri bisa melakukan konfirmasi (check and rechek) kepada figur yang dijadikan prototipe keteladanan. Transformasi dari pendiri pesantren, sampai dilanjutkan keturunannya terjaga dengan baik sebagai modus untuk terus menjaga nilai-nilai dari kiai yang diterima bagi generasi santri berikutnya.
Beragam tipe pesantren
Keunikan sistem pendidikan pesantren dan pola interaksi antarwarga pesantren dan di luar pesantren merupakan kekayaan Indonesia yang harus terus dijaga sampai kapan pun. Kemampuan santri pun semakin luas, tidak hanya berkutat pada ilmu-ilmu keislaman yang distigmakan sebagai 'ilmu akhirat', dan cenderung menghindari keduniawian. Pada 1979 Menteri Agama RI mengelompokkan pesantren dalam empat tipe. Pertama, tipe A, yaitu pesantren di mana santri bertempat tinggal bersama kiai, kurikulum merupakan otonomi kiai dan tidak menyelenggarakan madrasah. Kedua, tipe B, yaitu pesantren yang memiliki madrasah dan kurikulum.
Ketiga, tipe C, yaitupesantren yang khusus sebagai tempat tinggal dan santri belajar di sekolah/madrasah lain. Keempat, tipe D, yaitu pesantren yang menyelenggarakan sitem pondok dan sistem sekolah/madrasah secara bersamaan. Beragam tipe pesantren itu merupakan bentuk adaptasi pesantren terhadap kebutuhan masyarakat ketika pendidikan formal menjadi 'panglima' dalam narasi pendidikan di Indonesia. Kebanyakan pesantren mengambil langkah kompromistis, menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah) di mana kurikulum terintegrasi dengan kurikulum nasional. Meskipun sebagian pesantren bertahan dengan tidak membuka madrasah/sekolah. Namun, justru di situlah keunikan pesantren yang hakikat fungsi dan tujuannya tidak seragam.
Arus besar paradigma relasi 'pendidikan dan kerja' tidak lantas membuat sebagian pesantren ataupun santri latah mengejar strata pendidikan dengan tujuan mendapatkan pekerjaan yang layak. Indonesia masih memerlukan figur-figur yang dianggap 'kiai kampung'. Mereka yang berjihad menghidupkan cahaya-cahaya keberagamaan di perdesaan, masjid, langgar, mushala, madrasah diniyah, dan mengajarkan alif ba ta di rumah-rumah mereka. Kiprah mereka jauh dari kilau publikasi, tetapi nyata terasa.
Maka di hari santri, kita perlu kembali melihat bagaimana keteladanan itu hadir di dekat kita. Keteladanan tidak melulu muncul dari figur-figur besar masa lalu atau tokoh publik yang kita tonton di media massa. Peran kiai, pesantren, dan santri dapat menjadi pilihan solusi untuk pendidikan karakter yang tepat bagi anak-anak kita.
Yang lebih penting lagi ialah bagaimana meningkatkan kesadaran kaum santri dalam membantu merekatkan elemen bangsa tentang pentingnya menjaga keberagamaan yang sudah given ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved