Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Idul Adha dan Agama Bahari

Iwan J Kurniawan
20/9/2015 00:00
Idul Adha dan Agama Bahari
(MI/EBET)
SAPI-SAPI berwarna hitam kecokelatan baru saja Hafidiyanto, 48, menurunkan dari sebuah truk bak terbuka. Ia bersama dua rekannya langsung mengikat hewan tersebut di sebuah lapangan kosong di kawasan Raden Inten, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Sepekan perjalanan dari Madura, Jawa Timur, akhirnya, sapi-sapi itu pun tiba di Ibu Kota dengan kondisi fisik yang tampak sehat. "Saya menjual hewan kurban ini jelang dan sesudah Idul Adha," ujarnya, pertengahan pekan ini.

Pria asal Madura itu sudah tujuh tahun berbisnis hewan kurban. Baginya, keuntungan memang ada. Namun, yang terpenting, ia bisa menyediakan kebutuhan sapi-sapi. Tentu, dengan harga terjangkau. Rata-tata ia jual seharga Rp15 juta-Rp18,5 juta per ekor. "Harga tergantung berat dan besar hewan," sambung Hafidiyanto semringah.

Urusan penjualan hewan kurban memang tidak hanya di kawasan Duren Sawit. Di bilangan Kalimalang, Matraman, dan Kuningan, misalnya, para penjual pun membludak. Mereka menjual baik sapi maupun kambing dengan harga bervariasi. "Ini musiman sehingga kami pun mengambil di luar daerah dan bawa ke sini," tutur Bagir, 45, salah satu penjual di Matraman.

Pemerintah, lewat Kementerian Agama, telah menetapkan perayaan Idul Adha jatuh pada Kamis, (24/9). Dengan begitu, umat Islam akan memperingati hari bersejarah dalam umat manusia ini secara serempak.

Berdasarkan sejarah keagamaan, Idul Adha dirayakan untuk memperingati peristiwa kurban. Yaitu, ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya Ismail untuk Tuhan. Namun saat akan dikorbankan, kemudian Ismail digantikan oleh-Nya dengan domba.

Meski demikian, beragam kegiatan untuk merayakan Idul Adha di Tanah Air sangat berbeda-beda. Di Kalimantan Barat, perayaan Idul Adha tampak sedikit berbeda jika dibandingkan dengan sebagian besar daerah lainnya di Tanah Air.

Masyarakat Sambas Melayu biasanya merayakan selama 7 hari. Acap kali, setelah pemotongan hewan kurban, warga pun saling memaafkan. Baik dengan anggota keluarga mereka masing-masing maupun tetangga.

Aneka makanan khas masyarakat Sambas Melayu pun kerap kita temui. Sebut saja, kue lapis, dodol, dan kue ban oto (semacam, kue donat). Itu menjadi ciri khas sehingga menambah rasa kebahagiaan.

Pada hari kelima perayaan Idul Adha, masyarakat Sambas Melayu juga sering menggunakan hari itu sebagai hari yang sakral untuk menikahkan putra-putri. Mereka meyakini sebagai hari penuh rahmat. Pasangan pengantin pun akan mendapatkan limpahan kebahagiaan.

Kepercayaan lokal
Tidak hanya di Sambas Melayu yang menjadikan Idul Adha sebagai bahagian untuk memaafkan hingga menggelar acara pernikahan, daerah lain juga semarak akan peristiwa tersebut.

Di beberapa daerah di Pulau Jawa, masyarakat masih kental menjalankan tradisi dan kepercayaan leluhur sebelum perayaan Idul Adha. Di Banyuwangi, Jawa Timur, masyarakat memiliki tradisi ratusan tahun yang biasa disebut mepe kasur (jemur kasur).

Warga percaya menjemur kasur bisa menolak bala dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Ibu-ibu selalu menjemur kasur berbahan kapas secara massal. Kita bisa melihat di depan rumah-rumah warga. Mereka juga memukuli dengan rotan untuk menghilangkan debu. Itu dipercayai bisa menolak penyakit dan energi negatif.

Begitu pula, warga Kelurahan Sampangan, Kota Semarang, Jawa Tengah, memiliki tradisi unik untuk menyambut Idul Adha. Masyarakat membuat sedekah bumi apitan dengan mengarak tumpeng dan hasil bumi.

Tradisi ini mempunyai tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Pasalnya, telah diberikan rezeki kepada warga. Di akhir acara, warga selalu berebut tumpengan (hasil bumi) yang baru saja diarak keliling kampung/desa. Warga percaya jika mendapatkan beraneka jenis hasil bumi maka akan mendatangkan berkah.

Di Pasuruan, Jawa Timur, juga tidak kalah unik pada perayaan Idul Adha. Tradisi ini sudah warga helat secara turun-temurun dan digelar menjelang Idul Adha. Warga Desa Wates Tani, Kecamatan Grati, menyebut ritual itu dengan istilah manten sapi (pengantin sapi).

Warga mendandani sapi-sapi yang dipasangkan kalung dengan rangkaian bunga tujuh rupa dan kain putih. Itu seperti layaknya pengantin. Setelah sapi-sapi dihias, warga akan mengarak dan menyerahkannya ke panitia kurban. Sapi pun kemudian dijagal. Tak ketinggalan, ibu-ibu pun akan membersihkan dan memasaknya jadi menu istimewa.

Tradisi lainnya, yaitu grebek gunungan di Yogyakarta. Tradisi grebeg gunungan ini berlangsung di lingkungan Keraton Yogyakarta. Tiga buah grebek gunungan diarak menggunakan prajurit dan dua ekor kuda. Rutennya, yaitu dari alun-alun menuju masjid.

Tiga buah gunungan terdiri dari dua gunungan putri dan satu gunungan putra. Setelah melalui perjalanan itu, warga pun siap untuk memperebutkan setelah didoakan. Siapa yang mendapatkan dipercaya ada berkah yang tercurah bagi dirinya dan keluarganya.

Budayawan Radhar Panca Dahana dalam sebuah perbincangan menyatakan masyarakat selalu antusias merayakan kegiatan religius. Namun, sering kali perayaan itu bercampur dengan agama bahari (kepercayaan lokal). "Masyarakat memeluk Islam, namun pengaruh budaya lokal tidak bisa terlepas. Kekhasan itu perlu dilestarikan," jelasnya. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya