NADA-NADA miris akan ketimpangan sosial dan ketidakadilan membuat perupa Amrus Natalsya berang.
Ia pun menuangkan unek-uneknya lewat kumpulan puisi berjudul Puisi-Puisi Amrus Natalsya.
Keputusan dia memublikasikan puisi-puisinya memang terbilang unik. Saat pertemuan di kawasan Cikini, Jakarta, ia mengaku miris dengan kondisi sosial.
"Saya menulis puisi karena memang panggilan jiwa," tuturnya singkat, pekan lalu.
Puisi-puisi ini Amrus tulis antara 2012 hingga 2014.
Ia tercatat sebagai perupa maestro.
Namun, ia memutuskan menerbitkan puisi karena ingin menyampaikan hal-hal yang tak tersampaikan lewat karya, baik dua dimensi maupun tiga dimensi.
Membaca karya Amrus membawa kita pada berbagai hal.
Puisi Kosong Sembilan (hlm 218) mengingatkan kita pada harapan untuk tak menyalahkan rakyat.
Isi puisinya, 'Bersuara tanda kita ada/ melihat dan menilai fakta/ freeport-WTO dan WTA dan lainnya/ siapa punya kerja/ kok bisa merugikan negara...'.
Sepenggal puisi ini memang mengkritisi kondisi bangsa.
Keberadaan perusahaan tambang menjadi kantong segelintir orang.
Di alinea terakhir, Amrus menulis, 'MPR DPR jangan marah/ SDM kalian rendah/ kami salah pilih/ sakit sekali'.
Sebagai seniman yang kini berusia di atas kepala delapan, Amrus masih memiliki daya ingat tajam.
Persoalan-persoalan tentang tragedi
September 1965 hingga Tragedi Semanggi masih ia ingat.
Baginya, puisi sebagai media menuangkan kegelisahan dan kegundahan. Tengok saja pada puisi Puisi Kosong Dua Puluh Sembilan.
Amrus menulis, 'Pilih/pilh memilih wakil rakyat/duduk dan dibayar-terima gaji/duduk di dewan permusyawaratan rakyat/itu DPR itu MPR/ pilih presiden pimpin pemerintah...'. Memilih jalan sunyi Tentu saja, membaca buku puisi setebal 572 halaman mengandung tiga aspek.
Pertama, Amrus mencaci dengan bahasa metafora.
Kedua, Amrus konsisten mengangkat tema sosial-politik.
Ketiga, Amrus tidak hanya mengkritisi, tapi juga menjadikan puisi sebagai doa.
Usia yang terus berjalan menjadikan Amrus sadar.
Manusia akan mati. Bagi dia, puisi-puisi berusia panjang.
Ini bisa kita tengok pada puisi berjudul Puisi Kosong Tiga Puluh Sembilan Halaman Dua (527).
Puisi itu berbunyi, 'Kita hidup dari bumi yang hidup/jangan bertekuk lutut//kita hidup dari bumi yang bergerak/kerja-jangan diam/tenggelam'.
EZ Halim, dalam prolognya, menulis puisi-puisi Amrus merupakan puisi kesaksian.
"Amrus pencatat sejarah yang telaten. Dari Lady Gaga yang ditolak FPI, PKS, Ulama, dan polisi," tuturnya.
Lewat kesaksian itu pula, Amrus pun mencari jati diri.
Ia tak sekadar sebagai perupa, tapi juga kini sebagai penyair, meski ia mengaku telah menulis pertama kalinya pada 1958 berjudul Marokko.
Sebuah puisi tentang perjuangan rakyat Marokko melawan penjajah Prancis.
Tak sampai di situ, ia juga menulis puisi berjudul Sewindu Jenderal ini Terbuka yang ia tulis bagi sahabatnya, Rondang Tobing, seorang deklamator terbaik semasa di Yogyakarta.
Di bagian terakhir pada buku itu, ada sebuah puisi yang cukup khas. Ia tujukan kepada Joko Widodo, Presiden RI saat ini.
Teman tentang pemimpin ia tuangkan lewat puisi berjudul Puisi Kosong Kosong Empat puluh Sembilan Halaman Satu (hlm 561).
Isi puisi, '... Jokowi bukan lagi gubernur, tapi presiden//dipilih rakyat/ karena rakyat butuh pemimpin yang pro rakyat.../ Perlu presiden yang berani.../ perlu presiden yang periksa/ kemampuan menteri-menterinya'.
Lewat pergunjingan batin, Amrus menyajikan karya puisi.
Ada puisi-puisi alegori yang memang ia suguhkan bagi pembaca.
Lewat buku ini, Amrus memutuskan untuk memilih kesunyian.