SEKOLAH ialah persemaian nilai. Ia mestinya menyiapkan siswa menjadi manusia utuh, yakni pribadi yang mandiri, bermutu, tangguh, bermoral, dan menjadi manusia sosial. Sekolah pada hakikatnya seminarium pendidikan pengembangan karakter bangsa.
Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah akhir. Selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap ada, pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi.
Dengan demikian, sekolah menjadi tempat menyemai, merawat, dan menumbuhkembangkan revolusi mental. Dengan demikian, revolusi mental dalam pendidikan sesungguhnya sebuah spirit, gerak, napas, kerja, dan kinerja. Sekolah bukan menabung angan melainkan turun tangan membumikan nilai dalam keseharian berbangsa dan bernegara.
Harus jujur diakui, dalam praktik keseharian, sekolah yang mestinya mewartakan kasih sayang, juga menyemai kekerasan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW), sekitar 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Survei yang dilakukan pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 itu melibatkan 9.000 siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orang tua, dan perwakilan LSM.
Hasil survei membuat orang ternganga-nganga, karena sebagian pelaku kekerasan terhadap siswa ialah guru dan staf non-guru. Penggunaan kekerasan sebagai solusi sudah dianggap sebuah kelaziman. Kelaziman menggunakan kekerasan sebagai solusi harus diakhiri sekarang juga. Jangan ditunda-tunda lagi membumikan revolusi mental dimulai dari sekolah.
Revolusi mental, berdasarkan penjelasan pra-Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bermula di alam pikiran yang menuntun bangsa dalam meraih cita-cita bersama dan mencapai tujuan kolektif bernegara.
Titik berangkat revolusi mental berawal dari mengubah cara pandang, pikiran, sikap, perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan. Revolusi mental juga menjadi gerakan kolektif yang melibatkan seluruh bangsa dengan memperkuat peran semua institusi pemerintahan dan pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.
Revolusi mental dilaksanakan melalui internalisasi nilai-nilai esensial pada individu, keluarga, insititusi sosial, masyarakat sampai dengan lembaga-lembaga negara. Nilai-nilai esensial meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif inovatif adaptif, kerja sama dan gotong royong, dan berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.
Kita berharap, dengan membumikan revolusi mental akan menghasilkan manusia unggul. Manusia unggul yang mempunyai sikap optimistis dalam menatap masa depan dan memiliki nilai-nilai luhur yaitu gotong royong, toleransi, solidaritas, rukun dan saling menghargai dan menghormati.
Terang benderanglah sudah bahwa revolusi mental merupakan transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, semangat dan moralitas yang menjelma ke dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Revolusi mental ialah transformasi menyangkut keutuhan tiga aspek manusia, yaitu aku yang percaya, aku yang berpikir, dan aku yang bertindak.
Karlina Supelli dalam tulisannya berjudul Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan menyerukan revolusi mental dimulai dari pendidikan. Pendidikan tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan tentang baik dan buruk, tetapi melatih hasrat peserta didik sampai terbentuk disposisi batin untuk selalu menghendaki yang baik.
Revolusi mental yang membidik transformasi karakter, lanjut Karlina, hendaknya tidak diartikan sebagai pengurangan porsi pendidikan kognitif demi menambah porsi pendidikan karakter. Sebaliknya, kita justru memerlukan model pendidikan yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif secara lebih utuh (kemampuan analitik, logika, daya-daya reflektif, kritis, imajinatif, kreatif ), namun terintegrasi ke kemampuan afektif dan komitmen untuk bertindak (aspek ragawi). Di dalam pengintegrasian ketiga aspek itulah daya-daya reflektif manusia akan berkembang. Tanpa kemampuan reflektif, yang memberi pemahaman matang namun realistik tentang kinerja dunia kontemporer, mustahil memulai revolusi mental.
Revolusi mental di bidang pendidikan diharapkan mampu mendorong kita sebagai bangsa menanggalkan topeng kepalsuan.