Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Menata Lingkungan Sosial secara Holistis

Indriyani Astuti
20/10/2016 08:26
Menata Lingkungan Sosial secara Holistis
()

MENDAMBAKAN kota-kota (kabupaten) di Indonesia bersih dan teduh ialah sebuah keharusan yang bisa dicapai. Kini keinginan tersebut tidak saja monopoli kepala daerah yang akan merasa sukses memimpin daerahnya bila mendapat penghargaan Adipura. Lingkungan di mana pun warga negara tinggal haruslah manusiawi dan nyaman termasuk bagi siapa pun yang singgah ke sana dapat menikmati suasana tersebut.

Sejak 1986, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), mencanangkan dan mengompetisikan penghargaan Adipura bagi kabupaten/kota di Indonesia yang dinilai berhasil mengelola lingkungan dan kebersihannya. Pada lima tahun pertama, dalam sejarahnya, program Adipura difokuskan untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi 'kota bersih dan teduh'.

Pengertian kota dalam penilaian Adipura bukanlah kota otonom, melainkan bisa juga bagian dari wilayah kabupaten yang memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah tertentu.

Kementerian LHK akan memberikan penghargaan tersebut bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan.

Dalam perkembangannya, penilaian program Adipura dilihat dari empat hal, yakni pengelolaan sampah, ruang terbuka hijau, pencemaran air, dan pencemaran udara. Pemenangnya ialah kota yang berhasil meraih total poin 74 dari empat unsur penilaian tadi.

Memasuki tahun ini, penilaian untuk penganugerahan Adipura akan lebih kompleks. Hal itu dilakukan atas pertimbangan bahwa persoalan kota tidak sebatas lingkungan tetapi juga menyangkut aspek sosial.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lebih tegas menyampaikan aspek yang dinilai bagi daerah tidak hanya mengenai lingkungan, tapi juga menyangkut ekonomi, sosial, dan pemberdayaan masyarakat yang menekankan tata kelola pemerintahan daerah yang baik yang dapat mengintegrasikan aspek pembangunan berkelanjutan.

Hal itu dia tegaskan dalam rapat koordinasi Rebranding Strategy Program Adipura di Kementerian LHK, Jakarta, belum lama ini, yang dihadiri para wali kota, bupati, dan dewan penilai Adipura.

Konsep rebranding dilihat dari beberapa hal, tidak hanya nilai administratif secara fungsional dan urban area, tapi juga cakupan good environmental governance secara keseluruhan. Jadi rebranding dari strategi program Adipura akan mencakup fungsi lingkungan yang lebih luas.

Menurut Menteri Siti, walaupun terkesan kompleks, kriteria dan indikator pada program Adipura hampir sama dengan sebelumnya, yakni pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau yang dilakukan pemerintah daerah serta partisipasi aktif masyarakat. "Hanya ada penambahan beberapa indikator, di antaranya pada kriteria dan indikator penilaian terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, penanganan kebakaran hutan dan lahan, serta pengelolaan pertambangan berwawasan lingkungan," ujar Menteri Siti.

Diharapkan, dengan penilaian yang lebih ketat, akan lahir kota dengan kualitas lingkungan terbaik. Dari sinilah bobot persoalan akan banyak digali dari konsep kepemimpinan wilayah yang dianut dan dipraktikkan para kepala daerah.

Dengan demikian, akan lahir konsep kota sehat dalam arti menyeluruh, kondusif, dan menarik dalam arti mampu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni trade, tourism, and investment (TTI) berbasis pengelolaan lingkungan hidup (attractive city).

Integrasi sampah
Dari sekian persoalan yang strategis terkait dengan penilaian program Adipura, masalah sampah dianggap yang paling krusial untuk dicarikan solusi yang cerdas dan terintegrasi.

Direktur Pengelolaan Sampah R Sudirman menegaskan good environmental governance punya peran strategis dalam mendorong pemenuhan target nasional pengurangan dan penanganan sampah.

Program Adipura juga diharapkan dapat menjadi instrumen pendorong tercapainya target pengurangan sampah nasional sebesar 20% pada 2019 dalam rangka mewujudkan Indonesia bersih sampah sesuai dengan amanah UU No 18 Tahun 2008 tentang Bersih Sampah 2020.

Untuk itu, Kementerian LHK kembali menekankan sistem pengelolaan sampah di daerah harus terpadu. Faktanya, masih ada beberapa daerah yang tempat pembuangan akhir mereka dalam kondisi terbuka. "Pemda harus menutup TPA yang masih terbuka, sebab kalau belum dijalankan tentu drop dari Adipura," ujarnya.

Permasalahan mengenai pengelolaan sampah antara lain infrastruktur yang belum memadai serta pemanfaatan sampah dan sumber daya yang belum maksimal, juga sampah belum menjadi prioritas dan kurang mendapat dukungan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Salah satu program pengurangan sampah yang coba digulirkan pusat untuk direalisasikan di daerah ialah program pengurangan sampah melalui mekanisme plastik berbayar yang juga dimasukkan ke penilaian Adipura.

Pemda yang memiliki peraturan daerah khusus yang menetapkan plastik tidak gratis di ritel modern yang berada di kotanya akan mendapat nilai baik. Upaya tersebut, menurut Sudirman, akan diperkuat dengan terbitnya peraturan menteri LHK yang secara khusus mengimbau pemda untuk menerapkan mekanisme plastik berbayar.

Menurut rencana, sebelum 2017, permen tersebut akan diterbitkan. Tidak hanya itu, plastik berbayar juga akan menyasar pasar tradisional.

Rencana itu pun akan dicantumkan dalam permen tersebut. Penerapan plastik berbayar di pasar tradisional diharapkan tuntas pada 2019. "Kami akan sosialisasi tahun depan, yang jelas pada Februari 2019 (bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional), dapat kita launching program tersebut," imbuh Sudirman.

Pemerintah, dikatakan Sudirman, sudah memiliki peta jalan pengurangan sampah hingga 2025. Pengurangan kantong plastik menjadi salah satu instrumen untuk membuat tumpukan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) berkurang. (Ind/Ric/H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik