Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Berupaya Membuat Masyarakat Cinta Buku

(Mus/S-25)
20/10/2016 01:15
Berupaya Membuat Masyarakat Cinta Buku
(MI/SUMARYANTO)

MEMBACA merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap individu. Seseorang yang terbiasa membaca dengan sendirinya memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. “Ada banyak sekali alasan mengapa membaca itu penting, dari meningkatkan dan merawat mutu ingatan, mengurangi stres, memperkaya perbendaharaan kata, menambah pengetahuan, hingga mengembangkan kemampuan menulis,” ucap Duta Baca Indonesia Najwa Shihab di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Indonesia sebenarnya telah relatif berhasil memberantas tunaaksara. Tingkat tunaaksara di Indonesia sudah menyusut drastis hingga tersisa sekitar 5%-6%. Dari 140 negara, Indonesia ada di peringkat ke-3 sebagai negara yang paling berhasil menurunkan angka tunahuruf. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2004 angka tunaaksara di Indonesia mencapai 15,4 juta penduduk, tetapi pada 2012 hanya tersisa 6,4 juta. Kendati demikian, meningkatnya angka melek huruf itu tidak serta-merta meningkatkan minat baca. Menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia.

Peringkat tersebut, menurut Najwa, tidak meleset. UNESCO melaporkan pada 2015 kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sementara anak-anak di Jepang dan Singapura sedikit lebih rendah dengan jumlah 15-17 buku. “Bandingkan dengan Indonesia yang rata-rata mencapai titik terendah 0,01%. Artinya, dari 1.000 anak Indonesia, hanya satu anak yang mampu menghabiskan satu buku dalam setahun. Dari 1.000 anak, hanya seorang yang memiliki minat baca,” ucap presenter Mata Najwa (Metro TV) itu.

Hitung-hitungan itu bisa menjadi tidak terlalu tepat. “Amat mungkin dari 1.000 anak itu, ada lebih dari satu yang punya minat membaca. Hanya saja, bukan tidak mungkin, anak-anak yang lain memang tidak mendapatkan akses yang mudah kepada bahan-bahan bacaan.” Hal itu menunjukkan membaca memang tidak menjadi prioritas dalam dunia pendidikan Indonesia. Ketika semua negara mewajibkan siswa SMA membaca sejumlah buku sastra, Indonesia tak merasa perlu.

“Dengan pengecualian sejumlah kecil sekolah elite swasta, siswa Indonesia kebanyakan tak wajib membaca buku sastra. Penyair Taufi k Ismail menyebutnya sebagai ‘Tragedi Nol Buku’.” Najwa menambahkan, Pramoedya Ananta Toer menuliskan sepucuk kalimat dalam roman Bumi Manusia, salah satu karya paling indah yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang berbunyi ‘Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan’.

Hal itu memperlihatkan betapa kemampuan membaca alias melek huruf ialah satu hal dan minat membaca ialah hal yang lain. “Padahal, seperti diungkapkan penyair dan esais Goenawan Mohamad, jika kemampuan membaca adalah rahmat, kegemaran membaca adalah kebahagiaan.”

Mencintai buku
Najwa percaya bangsa besar dengan sendirinya punya tradisi literasi yang kuat. Setiap bangsa besar niscaya ditopang penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan itu berarti menghargai dan mencintai literasi. “Tanpa tradisi literasi yang kukuh, sebuah bangsa rentan menjadi bangsa kelas ‘teri’ sebagai perundung, pemaki, dan mudah diprovokasi tanpa keluasan hati dan imajinasi.” Sudah banyak formula yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan rendahnya minat baca ini. Najwa mengaku beruntung menemukan ‘sahabat’ dalam bentuk buku sejak kecil.

Hal itu karena ayahnya, Quraish Shihab, membimbingnya untuk mencintai buku. “Saking cintanya pada buku, dulu saya punya perpustakaan kecil di rumah dan membuka penyewaan buku dengan harga Rp25 per buku. Rumah kami dari dulu dipenuhi buku. Mengenal dunia pun awalnya lewat buku dan dari sanalah Najwa Shihab kecil mencari jawaban atas beragam pertanyaan yang muncul di kepala.” Berdasarkan pengalaman itu, ia percaya bahwa keluarga merupakan tempat yang paling tepat untuk seseorang mencintai buku.

Ia meyakini dalam memperkenalkan budaya membaca kepada seorang anak butuh satu buku yang menarik agar sang anak ‘jatuh cinta’. “Situasi sekarang memang lebih menantang ketimbang di zaman saya kecil. Sekarang, apalagi di era digital, masa anak-anak dimanjakan dengan beragam gadget. Menghabiskan waktu bermain game Minecraft lebih menyenangkan daripada membaca novel Harry Potter. Spongebob Squarepants lebih memikat daripada buku serial Diary of a Wimpy Kid, apalagi dibandingkan buku-buku sastra.”

Ia mengaku membuat masyarakat Indonesia ‘jatuh hati’ pada membaca ialah bagian dari tugasnya sebagai Duta Baca. “Tugas berat, tetapi bukan mustahil untuk dicapai.” Ia pun bersedia memanggul ugas berat itu karena percaya pada ungkapan bahwa buku ialah sebaikbaiknya sahabat. “Ia (buku) menemani kita saat sadar dan tidur. Ke mana pun kita pergi, ia bersedia mengikuti. Dengan caranya sendiri, buku bisa menasihati kita.

Saat kita bersedih, buku mampu membuat kita tertawa. Lantas menangis ketika buku menyentuh perasaan yang paling dalam. Jika kita memintanya diam, ia akan patuh. Sebaliknya jika kita mencercanya, ia tak akan balik mengecam. Buku tak besar kepala. Jika kita memujinya, ia sedikit pun tidak akan terpengaruh. Tidak ada teman yang lebih pandai dan lebih setia daripada buku.” MI/SUMARYANTO (Mus/S-25)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya