NAMA kini tak lagi identik dengan asal usul. Dewasa ini, bakal sulit membedakan asal negara atau suku seseorang kalau cuma ditilik dari namanya. Dulu, lelaki yang bernama Ujang, Asep, atau Cecep bisa dipastikan berasal dari suku Sunda. Bejo, Ngadirah, Poniyem, Untung, dan Paimin itu familier berasal dari Jawa. Made, Gde, Kadek, dan Wayan dari Bali.
Kebudayaan Islam yang telah mengakar di Aceh dan bertalian dengan kebudayaan setempat memunculkan nama-nama khas Cut, Teuku, Nyak, dan lain-lain. Di generasi yang lebih tua, khususnya di daerah Jakarta pinggiran, kita mengenal seniman topeng betawi seperti almarhum Haji Bokir, Bodong, Mpok Norih, atau Malih, dan Mandra.
Beragam nama-nama unik belakangan diberitakan di berbagai media, salah satunya ialah siswi kelas XII SMKN 2, Kota Yogyakarta. Perempuan kelahiran 1997 tersebut hanya memiliki satu huruf dalam namanya, yaitu Y. "Saya mulai sadar nama saya unik sejak kelas satu SD, saat pertama kali bisa membaca," kata putri pasangan Slamet Sugiyono dan Parjiyem ketika ditemui di sekolahnya, Jumat (11/9). Sebelumnya, ia tidak merasa namanya aneh karena di keluarga dan di lingkungannya biasa dipanggil dengan Ay.
Padahal, tiga saudaranya yang lain bernama panjang, yaitu kakak kandungnya bernama Danar Winurseto, 22, serta dua adiknya bernama Pinasthiko, 15, dan Muhammad Abdul Aziz, 8.
Saat tanya ke ayahnya, sang ayah kemudian menjawab, namanya singkat agar mudah diingat. Selain itu, sang bapak menceritakan Y lahir saat krisis moneter berlangsung sehingga dengan nama Y diharapkan bisa hemat.
Dengan namanya yang hanya satu huruf, beberapa kali ia mengalami kendala, terutama saat melakukan registrasi. Waktu pendaftaran online, misalnya, ia harus menambahkan huruf 'ee' sehingga menjadi Yee agar memenuhi jumlah karakter minimal.
Dengan namanya yang singkat, ia memang kerap menjadi olok-olokan. Namun, Y menanggapinya dengan santai. Ia pun mengaku tetap percaya diri menyandang nama Y. Ia hanya berharap besok-besok tidak ada kendala lagi saat pengisian kolom nama.
Tidak lazim Nama unik dan tidak lazim, yakni Tuhan. Ya, Tuhan, demikian nama yang tertera di KTP miliknya. Nama yang singkat tetapi membuat orang yang membaca membelalakkan matanya, seolah tak percaya.
Tuhan lahir dan menetap di sebuah dusun terpencil di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tepatnya di Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin.
Tuhan mengatakan, di lingkungan tempat tinggalnya yang mayoritas berbahasa Using--bahasa suku asli Banyuwangi--ia dipanggil 'Tohan', bukan 'Tuhan'. Nama 'Tuhan' nama yang tertulis di KTP atau kartu identitas lainnya seperti SIM. Sebab itu, para tetangganya lebih akrab memanggilnya Pak To atau Pak Han.
"Saya juga tidak pernah bertanya ke orangtua, kenapa nama saya Tuhan. Kakak-kakak saya juga tidak tahu. Tapi tetangga di sini manggil saya Pak To, ada juga yang manggil Pak Han. Biasa saja tidak ada yang aneh," kata bungsu dari tujuh bersaudara tersebut. Baginya, nama Tuhan ialah pemberian orangtua yang patut disyukuri.
Di dekade sekarang, mencari anak-anak mungil bernama seperti nama orangtuanya macam mencari jarum dalam jerami sulitnya. Boleh jadi bagi anak-anak yang terlahir di era milenium, orangtua mereka sangat jarang yang memberikan mereka nama-nama zadul. Nama-nama anak biasanya mengikuti tren nama-nama 'wow' ala sinetron, infotainment, atau dari khazanah bahasa Arab atau Persia. Makanya banyak nama seperti Juliette, Angel, Agnes, Chelsea, Jessica, Andrew, Mathew, Kevin, Salsabilla, Amira, Renata, Dariush, Heydar, Fariz, dan deretan nama yang dulu tak pernah terpikirkan oleh orangtua di era 70-an atau 80-an.
Ada pula nama unik lain, Saiton, Nama, hingga Batman. Hal itu seperti halnya remaja yang memiliki nama Treatment. Lelaki berdarah Toraja itu memiliki nama lengkap Treatment Martinus Kabanga, 19.
"Itu nama dari bapakku. Katanya kalau yang lahir laki-laki, mau dikasih nama Treatment. Treatment menurut pengertian dari orangtua aku itu anak ketiga satu-satunya laki-laki," jelasnya, Rabu (8/9) lalu.
Dirinya mengaku, meski terkadang ada yang mengejek dia, namanya mengemban amanah. Teman-temannya sering mengejek ia diberi nama Treatment lantaran sang ibu ketika melahirkan sedang melakukan perawatan (treatment) di salon. "Nah, kalau bahasa Inggrisnya kan treatment itu artinya pengobatan, perawatan, perlakuan khusus. Kata orangtua aku lahir untuk diperlakukan khusus biar bisa memberikan perawatan atau bisa menolong orang di suatu hari nanti," ungkap lelaki yang biasa disapa Imen itu.
Ia pun bangga memiliki nama unik sehingga mudah dikenali orang. Namun, terkadang ia merasa iri dengan nama orang lain yang lebih bagus. "Kadang sampai saat ini ada yang bilang namaku lucu, ditertawakan, diejek, tetapi tidak sedikit juga yang memuji. Nama ini punya tanggung jawab besar, soalnya ada amanah di balik sebuah nama ini (Treatment)," bangga lelaki berkacamata itu. Mengalami kepunahan Menurut sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina, terkait dengan mencuatnya nama-nama unik ataupun di luar kebiasaan, dalam istilah statistik itu termasuk pencilan atau penyimpangan. "Jadi kebiasaan memberikan nama-nama demikian di luar nilai yang dianut masyarakat atau dengan nama lain penyimpangan.
"Ia menyarankan agar menghindari pemberian nama di luar kebiasaan masyarakat. "Sebaiknya diganti nama, secara sosiologis anak atau mereka yang menggunakan nama di luar kelaziman akan mengalami 'diskriminasi' atau jadi bahan ejekan dari masyarakat," ujarnya.
Nama-nama zaman dulu yang dinilai 'kuno' bisa dikatakan mengalami kepunahan. Kini, itu berevolusi menuju nama yang dianggap lebih modern. Hal tersebut disebabkan nilai yang dianut masyarakat juga berubah. "Tentu ada karena modernitas yang ditanamkan media televisi bisa menjangkau masyarakat secara langsung sehingga pengaruhnya sangat luas dan dalam.
" Kecenderungan pemberian nama saat ini bisa juga dipengaruhi tayangan sinetron yang masyarakat pahami sebagai tokoh baik. "Sebenarnya tendensinya negatif, akan 'menghilangkan' keindonesiaan kita. Makanya sangat penting sekali proteksi dari negara dalam tayangan media televisi. Karena rata-rata masyarakat kita meluangkan waktu 3-5 jam di depan televisi," kata Nia.
Boleh jadi, ini salah satu bukti bahwa arus globalisasi sudah merasuk segenap relung masyarakat serentak dari desa hingga kota. Masyarakat terkesan kehilangan rasa percaya diri pada kebudayaan sendiri dan lebih nyaman meng-copy-paste nama yang dihasilkan dari kebudayaan lain. Inilah risiko bangsa berkembang yang tengah mencari identitas. (KH/*/M-2)