Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Hidup di Balik Pose

News.harvard.edu/Zuq/L-2
05/9/2015 00:00
Hidup di Balik Pose
(HULTON ARCHIVE)
'KAMI bukan seperti yang terlihat', tulis salah seorang novelis Richard Wright pada 1940.

Ia hendak menggambarkan pengalamannya sebagai orang yang terlahir sebagai Afrika-Amerika.

Kekompleksan identitas tampak punya 'penandanya sendiri'.

Fotografi pun muncul sebagai salah satu seni yang mampu membingkai penanda identitas tersebut.

Pekan lalu, Clea Simon mengulas foto dalam Black Chronicles II yang dimuat dalam Jurnal Harvard Gazette Rabu (2/9).

Meski pameran tersebut dihelat setahun lalu di Rivington Place, Inggris, pemaknaan foto tersebut selalu relevan untuk disegarkan kembali.

Pameran itu mencoba menghadirkan kembali rekam jejak kulit gelap di Inggris pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Lebih dari 100 foto dipamerkan, mayoritas yang belum pernah dipamerkan atau diterbitkan sebelumnya, termasuk gambar langka berusia 120 tahun.

Pameran itu merupakan hasil dari serangkaian proses penelitian kearsipan yang telah berjalan selama tiga tahun.

Penelitian itu didedikasikan untuk mengungkap sejarah budaya.

Semua foto pameran diambil dalam studio foto di Inggris sebelum 1938.

Selain potret subjek tak dikenal, banyak juga subjek foto yang menjadi pendamping dari subjek terkenal, seperti Sarah Forbes Bonetta, putri baptis dari Ratu Victoria, dan Ndugu M'Hali, bocah Afrika yang menjadi budak penjelajah Inggris Henry Morton Stanley.

Gambar-gambar yang disajikan ternyata mampu menyibak citra rasialisme dan pendikotomian budaya pada masa lampau.

Gambar tersebut juga menyajikan pengetahuan baru dan menawarkan cara yang berbeda untuk melihat subjek berkulit hitam di Victoria, Inggris, sekaligus berkontribusi atas proses berkelanjutan untuk menebus 'noda' sejarah.

Pameran itu menjawab isu yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai, yakni identitas kultural dan hak asasi.

Beberapa foto sekaligus mengungkap kerumitan alamiah yang dialami orang kulit berwarna.

Ndugu M'Hali, misalnya, bocah yang menjadi pelayan dari Sir Henry Morton Stanley, penjelajah Inggris.

Ia berulang kali digambarkan dalam foto berbeda dengan balutan busana Afrika dan Barat.

Dalam potret lebih formal, ada Sarah Forbes Bonetta, perempuan asal Afrika Barat yang 'dihadiahkan' kepada Ratu Victoria sebagai budak dan dibesarkan sebagai anak baptisnya.

Ia hadir dalam dua potret pada 1862, salah satunya beserta dengan suami.

Ia tampak tenang dan berpakaian rapi ala perempuan zaman itu meski sebenarnya ia punya sejarah tragis.

Foto-foto tersebut terbagi dalam tiga kategori; pengasuh-penghibur (termasuk atlet, seperti petinju Peter Jackson 'The Black Prince'), misionaris, dan pejabat.

Sekali waktu, orang kulit berwarna hanya digunakan sebagai pendukung.

Misalnya pada foto M'Hali dan Stanley, M'Hali sebagai pembantu berdiri di belakang tuannya, Stanley, yang membawa senapan.

Istilah 'hitam', saat itu, digunakan untuk tujuan politik dan sengaja diperluas untuk mengategorikan kelas sosial di Inggris.

Sering kali, subjek dan alat peraga tidak serasi.

Ada pula 30 potret anggota The African Choir, yang melakukan tur di Inggris pada 1891-1893.

Foto itu dipublikasikan untuk pertama kalinya setelah menghilang selama lebih dari 120 tahun.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya