Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

KLHK Diminta tidak Bekerja Sendiri

Richaldo Y Hariandja
23/9/2016 10:52
KLHK Diminta tidak Bekerja Sendiri
(MI/Susanto)

KEBERHASILAN pemerintah dalam memberlakukan prinsip strict liability (tanggung jawab mutlak) kepada pelaku pembakaran hutan PT PT National Sago Prima (NSP) dalam perkara perdata belum lama ini mendapat apresiasi. DPR meminta prinsip itu juga diterapkan dalam perkara pidana kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Hal tersebut diminta secara khusus oleh Komisi III DPR RI melalui panitia kerja (panja) karhutla saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di kompleks DPR-MPR, Jakarta, kemarin. Untuk itu, Kementerian LHK diminta untuk tidak bekerja sendiri.

“Kementerian LHK harus bekerja sama dengan kepolisian atau bahkan Kemenko Polhukam,” ucap anggota panja Habib Aboe Bakar dalam rapat yang berlangsung selama 2,5 jam tersebut.

Dalam kasus PT NSP, hakim menyatakan PT NSP bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi di lokasi izin mereka, baik disebabkan per-usahaan atau bukan. Hal itu sesuai prinsip tanggung jawab mutlak yang membuat perusahaan bertanggung jawab atas kawasan yang dikelola.

Anggota Komisi III lainnya, M Syafi’i, menilai prinsip tanggung jawab mutlak dapat diterapkan Kementerian LHK dan kepolisian dengan bermodalkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan, serta PP No 71/2014 tentang Perlindung­an dan Pengelolaan Gambut. Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah tidak ragu-ragu.

“Amanah UU No 41/1999, siapa saja yang dikasih izin (pengelolaan hutan) harus jaga wilayahnya, termasuk dari kebakaran. Tidak perlu lagi dicari siapa pelaku pembakarnya,” terang dia.

Pada kesempatan sama, Direktur Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo menyatakan tanggung jawab mutlak sangat mungkin untuk diimplementasikan dalam perkara pidana. Menurutnya, pemerintah dapat menjadikan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai landasan hukum.

Saat menanggapi hal tersebut, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan pihaknya tidak masalah untuk menerapkan prinsip tersebut. “Saya sih tidak masalah, kalau mereka (ahli hukum) bilang bisa, kita dapat jalankan itu,” imbuh Siti.

Cabut izin
Terkait dengan kasus penerbitan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) oleh Polda Riau terhadap 15 perusahaan yang dicurigai membakar hutan, Kementerian LHK telah mencabut 2 izin perusahaan, yakni HSL dan SRT. Menurut Siti, dua kawasan perusahaan tersebut akan dijadikan kawas­an penopang Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.

Pasalnya, dua kawasan tersebut berada di sekitar kawasan TNTN. “Secara keseluruhan, untuk kawasan ekosistem Tesso Nilo. Kita masih teliti masyarakat di sana butuh apa saja,” ucap Siti.

Siti mengatakan, dengan pencabutan izin, pemulihan kawasan sepenuhnya berada di dalam tanggung jawab negara. “Mereka sudah tidak ada urusan lagi sekarang, sedang kita benahi (kawasannya).”

Anggota panja Eddy Kusuma Wijaya melihat selama ini penyelesaian kasus karhutla cenderung hanya menghukum pembakar tradisional atau perseorangan. Hal itu, menurut dia, membuat kecurigaan terhadap keberadaan mafia hutan menjadi semakin tinggi.

“Kasus terbaru, penegakan hukum untuk penyande­raan PPNS Kementerian LHK saja lambat,” ucap dia. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik