Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Seven Pounds

Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,Jakarta
25/7/2016 03:58
Seven Pounds
(MI/ ADAM DWI)

BERULANG kali saya melihat film Seven Pounds yang dibintangi Will Smith.

Berulang kali pula saya selalu bertanya tentang takdir.

Benarkah untuk berbuat sebanyak mungkin kebaikan, kita harus dipaksa mengorbankan sebanyak mungkin kelebihan yang kita miliki, bahkan hingga meregang nyawa?

Ben, tokoh utama dalam film tersebut yang diperankan Will Smith ialah pribadi kuat yang kemudian jatuh oleh kemudi takdir yang dibuat Tuhan ketika sebuah kecelakaan merenggut nyawa istrinya.

Karena merasa bersalah atas kematian istrinya, Ben kemudian melakukan pencarian hidupnya kembali.

Namun, itu terasa tak berhasil.

Keinginannya untuk melakukan bunuh diri sangat kuat sepeninggal istrinya.

Entah karena kebaikan hatinya atau karena emosi yang tak terkendali, Ben sampai pada satu kesimpulan bahwa sebelum mati, dia ingin meninggalkan apa yang masih tersisa dari dirinya, dari hidupnya, untuk diberikan kepada orang lain.

Karena itu, perjalanan menemukan orang per orang yang menerima donor organ tubuhnya pun dimulai, dengan memberikan setidaknya hati, ginjal, sum-sum tulang, darah, mata, jantung, hingga harta yang masih tersisa.

Pilihan kebaikan yang dilakukannya pun terhitung sangat hati-hati dan melibatkan pengacara.

Pendek kata, sebelum akhirnya dia melakukan bunuh diri, urusan donor anggota tubuhnya selesai ketika jantungnya diberikan kepada seorang wanita yang diam-diam juga mulai dicintainya.

Memaknai nasib dan takdir

Sekilas, jika kita mengajarkan agama kepada anak-anak kita, tema bahasan soal takdir, soal nasib baik dan buruk, selalu ditimpakan kepada kehendak Tuhan semata.

Manusia tak memiliki kewenangan sedikit pun untuk mengubah takdir atau nasib yang akan diterimanya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasib diartikan dengan sesuatu yang ditentukan Tuhan atas diri seseorang, misalnya, nasib membawanya terempas di Jakarta.

Nasib baik (nasib mujur) ialah keberuntungan, misalnya, ia selalu memperoleh nasib baik di usahanya.

Nasib buruk ialah kemalangan, misalnya, nasib buruk telah menimpa keluarganya.

Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti al hazzhu min kulli syai'in (bagian dari segala sesuatu).

Bentuk pluralnya ialah anshiba dan anshibah.

Dari aspek majas; jika disebutkan lii nashiibun minhu, artinya kami mempunyai bagian tertentu pada asalnya.

An-nashib juga bermakna al-haudhu, yaitu bagian dari daerah tertentu di bumi sebagaimana disebutkan Al Jauhari dalam Kitab Lisanul Arab juz I hal 974, Maktabah Syamilah.

Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.

Sementara itu, takdir berasal dari kata al-qodr yang menurut syariat bahwasanya Allah SWT mengetahui ukuran-ukuran dan waktu-waktunya sejak azali.

Kemudian Dia mewujudkannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya sesuai dengan ilmu-Nya.

Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini--tidak hanya pada manusia--baik pada mahluk hidup maupun benda mati, yang bergerak maupun yang diam, yang kecil maupun yang besar, yang gaib maupun yang nyata, kecuali sudah ditetapkan dan ditulis Allah SWT di Lauh Mahfuzh.

Tidak satu pun daun yang rontok dari dahannya, semut yang mati di atas batu hitam, benda langit yang hilang, kerikil yang berpindah tempatnya, jumlah bayi yang terlahir dan meninggal setiap detiknya, kecuali itu semua berada dalam ilmu, ketetapan, kehendak, dan ciptaan Allah SWT.

Artinya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia baik perbuatan maupun perkataannya, kesenangan maupun kesusahannya, sehat maupun sakitnya, rezeki maupun musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup maupun matinya, yang seluruhnya ialah bagian dari kehidupannya, kecuali sudah diketahui dan ditetapkan Allah SWT serta sesuai dengan kehendak dan ciptaan-Nya.

Kesadaran diri

Sekilas, tampaknya manusia sama sekali tak bisa mengelak dari nasib dan takdir mereka sendiri.

Namun, kehendak untuk belajar yang didorong akal pikiran akan menentukan perbedaan setiap manusia.

Saya tak bisa membayangkan, apa fungsi pendidikan dan pembelajaran, jika nasib dan takdir seolah sudah given dan tidak bisa ditolak.

Kehidupan pastilah akan menjadi absurd.

Kekerasan akan selalu merajalela karena setiap orang akan merasa melakukan kekerasan dan kejahatan ialah kehendak nasib dan takdir semata.

Takdir dan nasib hanya bisa dimaknai dengan pandangan tentang perbedaan kita sebagai makhluk dan Tuhan sebagai khalik.

Dalam takdir, harus ada kesadaran diri yang sangat kuat untuk kita yakini bahwa sebagai makhluk, dengan kelebihan akal pikiran yang diberikan Tuhan, sesungguhnya kita bisa memilih kehidupan seperti apa yang ingin dijalani.

Harus ada perbedaan sangat kuat antara posisi kita sebagai manusia dan Tuhan sebagai pemilik manusia, makhluk, dan khalik.

Mengapa menjadi penting untuk mengingat masalah nasib dan takdir?

Bagi saya, ada ratusan ribu guru di sekolah yang setiap hari kadang keliru ketika memberikan definisi nasib dan takdir dalam interaksi belajar-mengajar.

Ada banyak jiwa dan pikiran anak serta orangtua dan para guru yang terganggu terkait dengan problem pembelajaran karena pertanyaan-pertanyaan di sekitar masalah takdir dan nasib ternyata memengaruhi tindakan mereka sehari-hari.

Dalam klimaks film Seven Pounds, keputusan Ben bunuh diri meski didasari kebaikan hatinya untuk menyumbangkan organ tubuhnya merupakan simbol bahwa takdir dan nasib itu memang ada, tetapi yang tidak digunakan ialah pilihan berdasarkan akal pikirannya.

Dengan demikian, mengasah akal pikiran untuk terus rasional dengan tuntutan hati dan agama perlu terus dilakukan dalam skema proses belajar-mengajar yang benar.

Tujuannya agar jangan sampai tema takdir dan nasib jatuh pada pemahaman yang salah sehingga memengaruhi perilaku kekerasan siswa yang terus tumbuh karena menganggap kekerasan merupakan pilihan satu-satunya dalam menghadapi kesulitan hidup.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya