Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Makna Spiritual Mudik

KH Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal
05/7/2016 07:10
Makna Spiritual Mudik
(ANTARA/BASRI MARZUKI)

MUDIK ialah tradisi tahunan bangsa Indonesia yang menyedot energi banyak pihak.

Bukan hanya instansi pemerintah, melainkan juga sejumlah instansi dan lembaga terkait.

Fenomena mudik memiliki sejumlah makna bagi masyarakat Indonesia.

Bahkan fenomena mudik sudah menjadi kebudayaan bangsa Indonesia.

Tidak bijaksana jika fenomena ini hanya ditinjau dari aspek kemacetan, kecelakaan, dan konsumerisme, tetapi perlu dilihat secara holistis.

Di dalamnya terkait juga dengan masalah sosial, ekonomi, agama, dan politik.

Fenomena mudik menyita perhatian pemerintah untuk mengatur lalu lintas darat, udara, dan laut dengan berbagai jenis sarana dan prasarana transportasinya.

Memang ada yang memprihatinkan karena dari tahun ke tahun semakin melonjak jumlah korban kecelakaan di dalam perjalanan mudik dan arus balik.

Korban tahun lalu sudah hampir menyentuh angka 1.000 jiwa.

Belum lagi yang luka parah dan cacat permanen dan korban materiil.

Pemerintah juga terpaksa menyiapkan konsep cuti bersama untuk Lebaran ditambah penyiapan THR dengan berbagai istilah seperti tunjangan gaji ke-13 yang sekarang ini meningkat menjadi tunjangan gaji ke-14.

Fenomena mudik dalam rangka Hari Raya Idul Fitri di Indonesia tidak pernah ditemukan di negara-negara lain mana pun.

Salah satu keunikan peringatan Hari Raya Idul Fitri ialah mudik ke kampung halaman.

Berbagai macam motif para pemudik.

Ada yang menjadikannya sebagai momentum rutinitas untuk menziarahi orangtua atau keluarga, termasuk menziarahi makam keluarga dekat, ada yang memanfaatkan libur panjang untuk mengurus kepentingan sosial ekonomi keluarga di kampung, dan ada yang ikut-ikutan mudik karena pengaruh psikologis media yang mem-blow up suasana Lebaran Idul Fitri.

Aspek spiritualnya yang penting para pemudik bisa merasakan kembali dunia masa lalu yang penuh kenangan.

Mereka dapat menyaksikan lekuk rumah orangtua tempat kelahiran mereka, bisa menatap dalam-dalam makam orangtua dan leluhur, dan tentu saja menengok keluarga, sahabat, dan handai tolan

Mungkin orang sering bolak-balik dari kota ke kampung, tetapi tidak mempunyai nuansa mudik sekental mudik Lebaran.

Sesungguhnya yang perlu mudik dalam suasana Lebaran bukan hanya badan lahiriah keluarga, melainkan juga rohani dan spiritual setiap orang, terutama yang merayakan Hari Raya Idul Fitri.

SESUAI dengan namanya, Idul Fithr, secara literal berarti kembali berbuka, yakni kembali makan, minum, dan berhubungan suami istri setelah sebulan penuh terlarang di siang hari Ramadan.

Kita kembali melakukan aktivitas biasa sebelum Ramadan tiba.

Pengertian lain dari Idul Fithr ialah kembali ke fitrah (Id al-Fithrah), yaitu kembali kepada kesucian diri setelah ditempa amaliah Ramadan sebulan penuh.

Mudik ke kampung halaman rohani maksudnya kembali ke jati diri kita paling luhur setelah digodok dan ditempa sebulan penuh oleh Ramadan (secara harfiah berarti: membakar, menghanguskan).

Diharapkan dengan amaliah Ramadan yang secara maksimum kita lakukan selama sebulan penuh kita dapat meraih rida Allah SWT, yang pada saatnya, kita dapat memperoleh suasana bahagia di dunia dan di akhirat kelak, sebagaimana dilukiskan Tuhan dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya" (QS Thaha/20:118-119).

Keindahan kampung halaman rohani sesungguhnya sudah pernah dialami anak manusia karena nenek moyang kita, Adam dan Hawa, diciptakan di surga.

Belakangan dijatuhkan dari surga kenikmatan menuju bumi penderitaan lantaran pelanggaran yang dilakukan Adam dan istrinya di surga, yang dikenal dengan drama kosmik.

Namun, masa-masa indah kenikmatan di surga tidak perlu diratapi dan menghantui pikiran kita karena semua ada hikmahnya buat kita.

Kejatuhan anak manusia ke bumi penderitaan antara lain, pertama, manusia lebih berhati-hati agar tidak lagi teperdaya oleh bujukan setan yang menyebabkannya mengalami kepahitan hidup setelah keluar dari surga.

Kedua, manusia menciptakan bayangan surga di bumi, suatu kawasan penuh ketenteraman dan kedamaian di bawah ampunan Tuhan (baldatun thayyibah wa Rabbun ghafur).

Ketiga, manusia berupaya kembali ke surga dengan jalan memperbanyak amal kebajikan.

Berpuasa dalam arti menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum bisa menjadi upaya meneladani Tuhan.

"Tuhan memberi makan tetapi tidak makan" (Huwa yuth'im wala yuth'am/QS Al-An'am/6:14).

"Tuhan tidak memiliki teman seksual" (walam takun shahibah/QS Al-An'am/6:101).

Manusia dituntut meneladani-Nya sebatas kemampuan. Semakin banyak kita mengidentifikasikan diri kita dengan sifat-sifat kemuliaan Allah SWT, kita dijanjikan semakin dekat kepada-Nya.

Semakin dekat seorang hamba kepada Tuhan semakin besar pula keutamaan yang diperolehnya; bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat kelak, insya Allah.

Orang-orang yang berpuasa tetapi tidak menampakkan bekas sebagaimana sifat-sifat Tuhan, dikhawatirkan, mereka itulah yang dimaksud Nabi: "Mereka tidak memperoleh sesuatu kecuali lapar dan dahaga."



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya