Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Manusia Ma'anyan dan Siasat Hidup

MI/IWAN KURNIAWAN
15/2/2015 00:00
Manusia Ma'anyan dan Siasat Hidup
(Grafis Ebet)
SUNGAI Barito di Kalimantan Selatan masih menjadi jalur transportasi utama bagi mayoritas masyarakat setempat. Perahu-perahu selalu hilir-mudik membawa penumpang hingga hasil pertanian ke pasar-pasar terapung. Masyarakat daratan memiliki andil dalam menyuplai hasil bumi untuk diperdagangkan secara tradisional di bibir sungai. Masyarakat suku Dayak Ma'angan yang mendiami pedalaman Barito Timur hingga Paju Epat ikut memberikan kontribusi hasil pertanian. Di balik kehidupan agraris masyarakat Dayak Ma'angan, mereka sesungguhnya masih menjaga tradisi leluhur berupa ipangandrau. Tradisi itu berupa usaha dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ada yang berkaitan dengan usaha/kegiatan kebutuhan hidup masyarakat. Itu merupakan kegiatan orang Dayak Ma'anyan dalam bercocok tanam dengan berladang. Hampir sebagian besar daerah di Barito Timur masih berupa perbukitan dengan ketinggian sedang. Warga masih hidup secara berpindah-pindah setelah lahan sudah tidak menghasilkan. Lahan yang tak menghasilkan lagi itu mereka gantikan dengan perkebunan karet skala kecil.

Keberadaan masyarakat Dayak Ma'angan dalam me manfaatkan hasil bumi membuat mereka gesit berkebun. Mereka menanam sayur-sayuran dan buahbuahan untuk dikonsumsi dan dijual ke pasar. Sayang, tradisi berladang orang Dayak Ma'anyan mulai hampir terlupakan sehingga ipangandrau dipandang sebagai kurang efisien. Orang Dayak Ma'angan selalu membuka ladang baru.Namun, ladang yang lama tetap mereka garap dengan tanaman umur panjang seperti karet. "Ipangandarau ini berupa kerja sama dan gotong royong masyarakat di pelosok dalam membuka ladang. Warga menanam padi secara bersama-sama untuk menjaga harmonisasi antarwarga," ujar M Bahrun, dua pekan lalu. Tradisi Ipangandrau dilakukan kala mereka menabur bibit padi.

Masyarakat bergotong royong.
Mereka bekerja sejak pagi hingga lepas siang. Perbekalan makanan pun seadanya mereka persiapkan dari rumah masing-masing sehingga selesai kerja barulah mereka santap bersama. Berbagi peran Baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran masing-masing. Para lelaki biasanya membawa ehek, kayu beruncing untuk melubangi tanah yang kemudian di tabur benih. Mereka berjalan secara beriringan dipimpin seorang pengayak. Tugas pemimpin ini ialah memimpin gerakan menanam benih agar tertib dengan kaidah-kaidah menurut adat yang biasanya dari keluarga yang melaksanakan kegiatan nganyuh. Tak ketinggalan para perempuan pun mengiringi dari belakang dengan membawa bajut, wadah berbahan anyaman bambu untuk menyimpan benih padi. Semuanya harus menabur benih secara tertib di lubang yang sudah dibuat kaum adam. Setelah bekerja dan selesai menanam, semuanya akan menikmati waktu beristirahat. Suguhan penganan khas suku Dayak Ma'anyan, seperti bubur wadai dan kaluwit sangat menggiurkan.

Di bagian tengah lokasi perkebunan, ada sekawasan ume (rumah) yang tidak boleh ditanami dengan benih. Untuk kawasan sakral itu, biasanya warga menyebut pangkat palanungkai. Kawasan itu luasnya 4 meter persegi. Warga setempat memercayai secara turun-temurun sebagai tempat bersemayam para dewi padi untuk menjaga ladang dari berbagai gangguan. Kepercayaan inilah yang masih kuat sehingga setiap tahunnya mereka menunaikan berbagai upacara dan ritus adat atas hasil tanam yang lebih maksimal. Setelah gotong royong bekerja di ume salah satu warga, pada hari berikutnya warga akan bersama-sama mengerjakan ladang di ume warga lainnya. Proses ini biasanya bertalian sehingga tanpa disadari semua padi akan tertanam sampai masa tanam selesai. Tradisi gotong royong menanam padi di lahan pertanian secara bersama-sama ini menjadi tradisi suku Dayak Ma'anyan. Tradisi ini masih kuat kita temukan di Desa Murutuwu, Balawan, dan Telangsiong di Kecamatan Pajut Epat. Tidak hanya pada musim penghujan tradisi ipangandrau warga gelar. Pada musim kemarau pun mereka tetap bergotong royong membersihkan perkebunan yang biasa disebut nikep nuhak nariuk. Menangkap ikan Selain tradisi pertanian, masyarakat suku Dayak Ma'anyan memiliki tradisi menangkap ikan kenah. Biasanya mereka lakukan di musim hujan saat air memenuhi sungai-sungai kecil di wilayah sekitar permukiman masyarakat suku Ma'anyan.

Mereka menggunakan wuwu dan tangkala.
Keduanya sejenis penangkap ikan yang terbuat dari rajutan bambu. Memang pencarian ikan ini paling sering, yakni pada November hingga Maret. Terlepas dari kegiatan menangkap ikan, sebagian warga lain pun melakukan kerja sampingan yang biasa disebut tradisi nin'nyaknampaleng. Tradisi ini berupa kegiatan menangkap binatang buruan di hutan dengan menggunakan jerat maupun tali untuk disantap sebagai lauk. Namun, saat Anda berpelesir ke daerah tersebut, kini sudah sulit sekali mendapatkan hewan buruan.Populasi babi hutan, misalnya, pun sudah terancam karena ada perburuan liar dari warga luar Ma'anyan. Bahkan dari penuturan warga setempat, sebagian besar investor perusahaan perkebunan telah melakukan pembabatan hutan sehingga hewan pun turun ke rumah warga. "Tradisi gotong royong memang sudah mengalami pergeseran. Hutan-hutan terus dibabat.Akibatnya, tradisi menanam bersama masyarakat Ma'anyan pun mulai ditinggalkan. Namun, masih dijalankan di beberapa pelosok," ujar budayawan Kalimantan Selatan, Arsad Indriadi. Lewat tradisi gotong royong suku Dayak Ma'anyan, ada upaya untuk menjaga kesetaraan dan kebersamaan. Masyarakat lokal ini telah menunjukkan diri sebagai para penghuni hutan Borneo yang masih mempertahankan warisan nenek moyang. Sebuah cara bertahan hidup yang kini memang sudah hampir tak kita temukan di kota-kota besar akibat budaya modernisme dan konsumtivisme.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya