Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DI sebuah meja yang beralas papan hijau bergaris, tangan Dian Kurnia Arismawan terampil menggunting sebuah pola di atas kardus bekas. Tangannya menggunting kardus mengikuti pola yang tergambar di kertas HVS yang ditempelkan di atasnya. Sementara dua lampu gantung menjadi sumber penerangannya. Di sebelah kiri Dian, sebuah ponsel yang terpasang di penyangga, menjadi saksi ia merakit sebuah mainan baru.
Senin petang itu, Dian tengah membuat konten video tutorial cara menyusun cardboard yang biasanya akan diunggahnya ke media sosial Kraf Studio. Sejak Oktober 2021, kesibukan Dian memang bertambah. Kini, paling tidak ia disibukkan untuk mencari konsep desain, lalu mencoba desain tersebut di papan kardus, hingga merakit dan mengabadikannya dalam suatu video.
Oktober tahun lalu memang menjadi langkah awal Dian menjalankan bisnis Kraf Studio, lini bisnis kerajinan tangan yang memanfaatkan kardus sebagai materialnya. Biasanya, dari desain yang dibuatnya akan muncul bentuk-bentuk baru seperti topeng, helm, kapal, tank, dan celengan. Namun, semua mainan itu tidak dijual. Yang ditawarkan Kraf Studio ke para pelanggannya ialah template desain yang diproduksi Dian.
“Memang yang kami jual itu desainnya. Kalau dulu desain dan kardus itu sudah sepaket. Tapi sekarang kardusnya bisa beli sendiri, template desain bisa beli sendiri. Nah, template desain ini bisa diaplikasikan untuk para kustomer yang memang punya kardus bekas di rumah. Jadi semacam upcycling,” kata Dian saat dijumpai Media Indonesia di kediamannya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin, (15/8).
Menurut penuturannya, biasanya ia butuh waktu hingga tiga hari untuk menemukan desain yang akan diproduksi. Idenya bisa dari pengikut di media sosial Kraf Studio hingga kedua anaknya. Setelah ide ditemukan, Dian lalu akan membuat sketsanya terlebih dahulu, sebelum kemudian diproyeksikan modelnya di perangkat lunak 3D di laptopnya. Jika hasilnya memuaskan, barulah template desainnya akan dijajal terlebih dulu untuk diaplikasikan di kardus.
Saat ini, Kraf Studio menjual produknya di lokapasar digital Tokopedia dan di situs resminya sendiri. Di situs resmi Kraf Studio, transaksi ditujukan untuk pembeli dari luar negeri. Beberapa produk yang ditawarkan oleh Kraf Studio saat ini adalah template desain yang terdiri atas materi stiker, kertas HVS, dan versi pdf, kardus khusus untuk membuat produk kriya, dan sepaket template desain dengan kardusnya.
“Dari perkembangan kami, saya melihat memang tidak semua orang punya kardus bekas. Ada juga yang tidak mau repot mencari kardus. Makanya kami juga menyediakan pilihan Kraf Studio menyediakan kardus kustom untuk crafting. Ternyata ada juga pembeli yang memang enggak membutuhkan desain kami, tapi cuma butuh kardusnya,” kata Dian sembari menunjukkan setumpuk kardus berukuran A4 yang masih terbungkus plastik hitam di sudut ruangan rumahnya.
Paling tidak, lanjut Dian, dengan penyediaan pilihan tambahan itu, pendapatan Kraf Studio juga ikut terkatrol. Kini, dalam sebulan kardus berukuran A4 itu rerata ludes 700 buah. Kraf Studio menjualnya dalam bentuk lusinan dengan banderol Rp35 ribu per lusin.
Untuk template desain, yang saat awal cuma tersedia 7, kini ada 30-an lebih katalog baru. Dalam sebulan, rerata pemasukan yang didapat adalah Rp8 juta.
Momen agustusan
Pada Agustus ini, pesanan yang masuk ke Kraf Studio pun lebih ramai daripada bulan-bulan sebelumnya. Per Senin (15/8) saja, Kraf Studio setidaknya sudah mengantongi Rp12 juta. Lebih besar daripada pendapatan rerata per bulannya.
Dian mengatakan momentum peringatan Hari Kemerdekaan sepertinya menjadi dorongan banyak pesanan yang masuk ke Kraf Studio. Saat Media Indonesia mengecek di salah satu unggahan mereka di Instagram, memang ada warganet yang meminta Kraf Studio membuat tutorial untuk kostum agustusan, seperti kostum Gatotkaca.
“Tadinya kami ketemu momentumnya karena mengajak orang berkreasi menggunakan kardus bekas. Sekarang, sepertinya karena ada momentum agustusan, jadi per harinya bisa lebih tinggi daripada bulan-bulan biasanya. Kalau sekarang sebenarnya bisa lebih santai karena sudah ketemu alurnya. Fokusnya sekarang ialah di penambahan desain,” terang pria lulusan teknik mesin itu.
Kini, Kraf Studio pun tengah mengejar paling tidak setiap pekannya ada satu desain baru. Semua memang masih dikerjakan sendiri oleh Dian, dibantu istrinya untuk menangani pesanan para kustomer di lokapasar digital.
Dian menuturkan perjalanan mula Kraf Studio sebenarnya dipicu ketika ada kegiatan rutin di sekolah anaknya yang mengajak para orangtua murid untuk berkreasi bersama anak-anaknya membuat kerajinan. Saat itu, empat tahun silam, Dian membuat gapura yang materialnya terbuat dari kardus.
Konten dan iklan
Seiring berjalannya waktu, Dian pun semakin rajin membuat berbagai kerajinan dari kardus, yang memang sejak kecil juga sudah dia lakukan. Hingga saat pandemi covid-19, Dian pun iseng-iseng menyalurkan hobinya itu menjadi konten di Youtube. Sebenarnya karena dia ketika itu pengen juga nyemplung menjadi Youtuber. Namun, rupanya ‘gagal’ karena interaksi dari konten yang sudah diproduksinya tidak ramai dikunjungi netizen.
Sang istri pun memberikan masukan ke Dian. Menurut sang istri, salah satu alasan kenapa kontennya tidak ramai ialah karena orang yang menonton tidak bisa membuat seperti yang dilakukan Dian lantaran tidak ada tata caranya. Setelah itu, sang istri juga yang menginisiasikan untuk mengombinasikannya dengan material kardus bekas.
Hingga akhirnya Kraf Studio tercipta. Dian pun mengalihkan idenya itu ke Instagram. Salah satu yang disasarnya ketika itu ialah dengan beriklan ke orang-orang yang memang memiliki minat di bidang kerajinan.
“Kami tidak pakai trik yang kompleks. Saya pikir setiap media sosial itu kan punya algoritmanya masing-masing. Ketika masuk ke Instagram, kami mencari orang-orang yang suka terlebih dahulu. Jadi, ada dua cara: dengan konten dan iklan.”
Dengan dua jalur itu, Dian kemudian menganalisis, mana konten yang banyak disukai orang dan yang kurang diminati. Ketika ada satu unggahan yang pertumbuhan penyukanya terus naik, di saat itulah Kraf Studio memanfaatkan iklan.
“Jadi, kami pilih iklan yang tujuannya untuk melihat profil kami. Kemudian kami bikin filter ke orang-orang yang suka kerajinan dan apapun yang berhubungan dengan kerajinan. Dari situ sedikit demi sedikit akan ikut tersaring. Pengikut pun akan nambah,” ungkap Dian.
Setelah banyak pengikut dan konten yang diunggah disukai secara organik, iklan pun dihentikan. Per bulan, Kraf Studio mengalokasikan bujet iklan hingga US$30 (Rp450-an ribu). Untuk saat ini, iklan hanya sesekali dilakukan dengan menyasar target audiens internasional.
Sementara untuk situs resmi, karena latar belakang dan kemampuan Dian juga memiliki kualifikasi untuk mendesain web, ia bikin sendiri. Awalnya, sebenarnya Kraf Studio ingin memanfaatkan Etsy, situs lokapasar digital yang khusus menyediakan berbagai produk kerajinan. Namun, karena terkena blokir, ia pun beralih dengan situs resmi Kraf Studio untuk mengakomodasi para kustomer dari mancanegara.
“Untuk saat ini, menurut saya, sebenarnya lebih penting akun media sosial yang tepercaya daripada website. Ibaratnya, kalau punya medsos yang sudah establish dengan pengikut banyak, tepercaya, itu akan lebih kredibel jika dibanding dengan website yang sepi.”
Salah satu keuntungan memanfaatkan elemen digital bagi bisnis Dian tentu saja ia bisa mendapat eksposur yang lebih besar. Meski beberapa kali harus mengeluarkan ongkos untuk beriklan, untuk seterusnya ia cukup menaruh produknya di media sosial. "Itu juga sudah seperti beriklan gratis. Pengunjung datang sendiri. Apa lagi ketika viral, otomatis akan dapat atensi dari banyak orang," ujarnya.
Selain dapat beriklan, melalui media sosial Dian juga bisa mengembangkan bisnis. Seperti membuat survei untuk mendapat masukan sehingga bisa menentukan arah ke depan produk-produk yang akan dikembangkan.
Secara dominan, pembeli produk Kraf Studio di Tokopedia juga berasal dari Instagram. Dian mengatakan ada alasan ia belum mau menghabiskan belanja iklan di lokapasar digital.
“Karena tidak efektif. Ketika di marketplace, mungkin karena beda perilaku. Di Instagram, kan sudah tahu hobi orang-orang yang follow kami. Di marketplace tidak seperti itu. Terlalu luas. Memang ada grafiknya ketika beriklan di marketplace, tapi ya mental. Orang cuma lihat aja, tidak beli. Jadi iklannya mending saya alihkan di media sosial.”
Dengan modal awal Rp20-an juta untuk membeli printer, printer khusus, kamera, serta bahan baku, kini Kraf Studio yang berskala UMKM sudah balik modal bahkan berencana ingin mengglobal. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved