Makin Tenggelam karena Jarang Pentas

Nicky Aulia Widadio
08/6/2016 06:00
Makin Tenggelam karena Jarang Pentas
(MI/BARY FATAHILLAH)

HIKAYAT Betawi itu dibawakan Yahya sambil bersenandung. Cerita yang disampaikan dalam logat Betawi kental dan diiringi tiupan lembut klarinet makin membius para pengunjung di teater mini di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan, untuk ikut larut dalam alur cerita.

Salah satu pengunjung yang datang pada pementasan yang digelar beberapa waktu lalu itu, Revi, 19, mengaku menikmati pertunjukan yang dibawakan Yahya. Mahasiswi di salah satu universitas negeri di Jakarta itu bukan warga Betawi asli. Dia perantau dari tanah Jawa.
Meskipun sudah pernah mendengar tentang Setu Babakan, baru kali itu dia menginjakkan kaki di kampung Betawi tersebut.

“Sebelumnya tidak pernah terpikir untuk datang dan nonton kesenian Betawi,” ujarnya.

Sejak menetap di Ibu Kota setahun lalu, kesenian Betawi yang ia tahu hanyalah ondel-ondel. “Itu pun cuma tahu bentuk fisiknya, maknanya enggak tahu.”

Revi hanyalah satu dari sekian banyak orang yang menetap di Jakarta, tetapi tidak akrab dengan budaya serta kesenian Betawi. Bukannya tidak tertarik, Revi mengaku tidak tahu di mana kesenian-kesenian Betawi biasa dipentaskan.

Kondisi tersebut diakui Ketua Lembaga Kesenian Betawi Tatang Hidayat. Ia mengatakan punahnya sejumlah konten seni menjadi penanda kesenian dan kebudayaan Betawi makin tergerus oleh zaman.

Salah satu konten seni yang kini tidak ditemui ialah teater puncul. Pertunjukan teater tersebut biasanya dimainkan setiap musim panen selesai. Kini, setelah warga Jakarta tidak lagi memiliki tradisi panen, teater puncul tidak lagi dimainkan. “Padahal dari sisi pertunjukan, hal itu tetap menarik, tidak mesti harus ada panen,” ujarnya saat ditemui, beberapa waktu lalu.

Selain teater puncul, lanjut Tatang, lagu keroncong klasik pun kini telah punah lantaran tidak ada lagi pemainnya. Salah satu penyebabnya ialah perubahan minat masyarakat yang turut mempersempit ruang apresiasi terhadap kesenian tersebut.


Kurang motivasi

Minimnya apresiasi itulah yang kemudian menyebabkan para pelaku seni kehilangan motivasi untuk menampilkan karya mereka. Apalagi, sebagian besar pelaku seni Betawi juga menjadikan bidang tersebut sebagai pekerjaan dan sumber penghasilan mereka.
“Ketika pekerjaan itu tidak lagi mencukupi kebutuhan mereka karena minimnya permintaan dari masyarakat, otomatis banyak yang meninggalkannya,” jelas Tatang.

Karena itu, Lembaga Kebudayaan Betawi mengharapkan adanya kerja sama antara pelaku seni budaya Betawi dan para pelaku di industri pariwisata. Seni dan budaya Betawi berpotensi menambah daya tarik pariwisata Ibu Kota.

“Misalnya di hotel-hotel ada iring­an musik keroncong dan gambang kromong atau di tempat-tempat wisata seperti Monas atau di Ragunan ada pertunjukan tari Betawi. Pasti menarik,” kata Tatang.

Untuk merealisasikan hal tersebut, ia berharap bisa mendapat dukungan penuh dari seluruh warga Ibu Kota. Tidak hanya yang keturunan Betawi, tetapi juga para pendatang dari luar daerah yang saat ini mendominasi di Ibu Kota. (J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya