GAJAH merupakan spesies asli Nusantara yang sekaligus satwa kebanggan Indonesia. Saat ini hampir semua spesies gajah di Tanah Air telah punah, menyisakan hanya dua subjenis gajah masih hidup, yaitu gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis).
Kondisi keberlangsungan gajah sumatra pun saat ini sangat kritis. Subspesies gajah Asia itu bisa benar-benar terhapus dari peta Sumatra jika ancaman penurunan populasinya yang terus terjadi tidak segera diatasi. Karena itu, gajah tersebut harus menjadi simbol untuk meningkatkan kesadaran kita tentang konservasi hewan liar di mana pun.
Dalam peraturan perundangan Indonesia, gajah sumatra termasuk dalam jenis satwa yang dilindungi. Sementara menurut IUCN, gajah sumatra masuk Red List dan berstatus critically endangered, artinya sudah terancam punah. Populasinya diperkirakan telah mengalami penurunan sekitar 35% dari 1992, sebuah angka kemerosotan sangat besar dalam waktu relatif pendek.
Penurunan populasi gajah sumatra disebabkan ancaman serius berupa aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat imbas konversi lahan, kegiatan pertambangan, pembunuhan akibat konflik dengan manusia, kebakaran, dan perburuan. Dalam kurun 2011-2017, misalnya, tercatat setidaknya 150 ekor gajah sumatra mati akibat konflik dengan manusia.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), rezim global yang mengatur perdagangan margasatwa, yang diratifikasi Indonesia pada 1978, melarang perdagangan gading dan perburuan gajah untuk gading. Dalam aturannya, gajah dimasukkan di Appendix 1, yakni daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdangan internasional.
Karena itu, persoalan konservasi gajah di Sumatra pun selain sangat banyak juga kompleks. Bersama mitra di dalam negeri dan peneliti asing, saya dalam 10 tahun terakhir menjalankan kegiatan penelitian untuk mendorong kepedulian terhadap upaya konservasi gajah dan meningkatkan populasinya.
Untuk diketahui, ancaman terbesar terhadap gajah sumatra ialah alih fungsi hutan/lahan yang mengakibatkan habitatnya menyempit dan terfragmentasi. Akibatnya, gajah sumatra hidup terisolasi dalam koloni-koloni kecil dan sulit bertemu antarkelompok. Isolasi yang terjadi dalam jangka waktu yang lama akan berbahaya. Karena perkembanganbiakan yang terjadi dengan kerabat yang terlalu dekat.
Apa dampaknya? Gajah sumatra melakukan perkawinan sedarah atau dikenal dengan inbreeding. Pola perkawinan sekerabat mengakibatkan kelainan dan memengaruhi fungsi genetik dan tingkat kesuburan gajah sumatra menurun, di samping rentan terserang penyakit dan mengalami pertumbuhan kerdil.
Penurunan kualitas hidup akibat erosi genetik tentunya sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup gajah karena menyulitkan peningkatan populasi. Karena itu, ancaman kepunahan gajah akibat inbreeding pun bisa menjadi kenyataan yang sulit dihindari jika kita tidak bertindak.
Identifikasi molekuler
Berangkat dari masalah tersebut juga kami kemudian mengambil sampel gajah dari tujuh wilayah se-Sumatra untuk diteliti genetiknya. Studi yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM bersama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan University of Liege, Belgia, mengungkapkan adanya keragaman genetik pada gajah sumatra.
Hasil yang didapat lewat amplifikasi penanda molekuler D-loop mtDNA membuktikan tingkat keragaman nukleotida yang rendah dan keragaman haplotipe ditemukan di wilayah Sumatra bagian utara (Aceh dan Sumatra Utara) dan yang lain di wilayah selatan pulau itu. Distribusi haplotipe berdasarkan DNA mitokondria ditemukan berbeda antara wilayah utara dan selatan.
Rendahnya keragaman genetik pada populasi gajah sumatra jinak dapat berdampak buruk pada generasi gajah sumatra jinak yang ada di lembaga konservasi di masa depan. Untuk itu langkah-langkah pengelolaan lembaga konservasi di masa depan harus dikembangkan untuk mempertahankan keberagaman genetik dan mencegah inbreeding pada populasi gajah sumatra yang masih terjadi.
Upaya lain yang kami lakukan ialah menjembatani gajah-gajah yang terjebak dalam koloni-koloni yang kecil kita arahkan ke habitat yang lebih besar lagi. Solusi itu merupakan salah satu program yang dibuat di Taman Nasional Way Kambas.
Hasil penelitian lain menggunakan penanda molekuler mikrosatelit (Short Tandem Repeat/STR) pada 161 ekor gajah sumatra yang ada di lembaga konservasi di Pulau Sumatra menunjukkan keberagaman genetik yang masih cukup beragam, tetapi memiliki risiko inbreeding yang lumayan tinggi. Penyebanya gajah tersebut berada dalam populasi kecil di lembaga konservasi.
Di samping itu, hasil analisis itu menunjukkan adanya titik terang bagi keilmuan forensik satwa liar karena ‘penanda’ yang digunakan dapat membedakan gajah sumatra (Wibowo, D.S. 2021).
Penyakit pada gajah
Penelitian tim FKH UGM bersama Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) mengenai ancaman kepunahan gajah jinak dan gajah liar di Sumatra dilakukan melalui berbagai kegiatan. Upaya itu di antaranya berupa peningkatan kualitas pengelolaan gajah jinak secara terpadu, pembangunan sistem database gajah jinak terkait data individual, rekam medis, identifikasi penyakit, dan analisis DNA.
Dalam riset yang dijalankan, kami mengambil sampel darah dan feses, dan meneliti banyak penyakit dominan yang dihadapi gajah. Seperti Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) yang menyebabkan kematian pada anak gajah dalam jumlah banyak dan tuberkulosis (ditularkan oleh manusia). Banyak penyakit infeksi yang dapat menyerang gajah sumatra di antaranya yang disebabkan oleh infeksi penyakit parasit, bakteri, virus, dan jamur.
Penyakit parasit memegang peranan sangat signifikan mengingat gajah-gajah di alam bergantung pada pakan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di habitat dan lokasi sekitar penangkaran. Selain itu, iklim Indonesia sepanjang tahun dengan curah hujan di Pulau Sumatra yang relatif tinggi menjadikan habitat yang sangat sesuai bagi pertumbuhan parasit-parasit pada gajah.
Varian penyakit yang ditemukan pada gajah makin bertambah banyak seiring semakin beragam dan berkembangnya metode pendeteksian. Paling tidak ada 10 jenis penyakit baru yang menyerang gajah yang kami temukan berdasarkan pengalaman di lapangan. Program penelitian gajah sumatra perlu terus dilakukan untuk mengetahui bahaya penyakit yang dapat mengakibatkan kematian dan penurunan populasi gajah, baik di alam liar maupun di pusat penyelamatan gajah.
Berbagai data dan informasi dasar dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh UGM bersama mitra kerja di dalam dan luar negeri dapat menjadi landasan strategi dalam pengelolaan gajah jinak, yang harapannya dapat berkontribusi terhadap berbagai kebutuhan konservasi gajah sumatra di masa depan.
Kerja sama itu terus ditingkatkan bersama pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Sumatra dengan memberdayagunakan sumber daya manusia yang telah terlatih. (Dro/Hym/X-6)