Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Musik Gamelan Mengubah Hidup Rasino

Widjajadi
08/10/2021 06:00
Musik Gamelan Mengubah Hidup Rasino
Rasino, 46, penyandang tunanetra(MI/Widjajadi)

RASINO, 46, buta sejak lahir. Namun, di dalam kegelapan itu, putra pasangan almarhum Lasimun dan Ratinah ini menemukan setitik cahaya yang mampu menjadi penerang sekaligus penentu arah kehidupannya.

Berawal ketika ia berumur 4 tahun. Saat itu Rasino kecil mendengar suara gamelan. “Saya tidak tahu persis, apakah suara tetabuhan gamelan dari rumah seorang dalang yang menjadi tetangga saya di Kebumen itu menjadi awal penentu perjalanan hidup saya sebagai guru karawitan dan pedalangan," kata bapak dua anak itu di rumahnya, Kompleks Perumnas Palur, Minggu (3/10).

Balita buta itu begitu kesengsem saat para tetangga dewasa berlatih karawitan di rumah seorang dalang desa. Rasino sering mendekat untuk menikmati alunan musik dari perangkat perkusi tradisional itu.

Karena telanjur gandrung mendengarkan tetabuhan gamelan, Rasino pernah mencoba meminta dapat diikutkan dalam latihan. Akan tetapi, permohonannya ditolak karena latihan karawitan itu untuk persiapan pentas wayang. Saat itu, ia juga masih terlalu kecil untuk terlibat di dalamnya. Apalagi Rasino seorang tunanetra.

Meski begitu, Rasino kecil tak patah semangat. Akhirnya ia pun diizinkan berlatih sendiri di luar waktu latihan. Rasino memanfaatkan waktu luang itu sebaik-baiknya. Pada usia di bawah 5 tahun itu, ia sudah sangat hafal jenis jenis ricikan gamelan dan mampu memainkannya dengan baik secara autodidak.

Namun, menginjak usia sekolah, ia harus melupakan suara tetabuhan gamelan. Saat bersekolah dan menjalani rehabilitasi di Sekolah Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN) Purworejo selama 3 tahun, Rasino jauh dari musik gamelan. Ia lebih akrab dengan musik band, terutama lagu-lagu Barat.

"Tidak ada perangkat gamelan di SRPCN Purworejo kala tahun 1990-an. Bahkan saya lebih akrab dengan musik band, dari drum, gitar, dan alat musik lain saya bisa mainkan. Saya sangat suka musik Barat dan seolah lupa musik gamelan," kata Rasino mengenang.

Ketika menapak jenjang SMA pada akhir 90-an, barulah ia kembali menekuni musik karawitan, yang masuk dalam pelajaran muatan lokal. Rasino bersekolah di SMA Muhammadiyah 5, Kabupaten Karanganyar, atau semakin jauh dari kampung halamannya di kawasan Pantai Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Bahkan, selepas SMA tahun 1999, ia meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Di perguruan tinggi yang kini berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu, Rasino memilih jurusan karawitan.

Ia berpendapat bahwa melanjutkan sekolah tinggi akan membantunya menempa emosi. Penyandang disabilitas bersekolah tinggi diakuinya bisa menambah kepercayaan diri. "Jadi difabel itu bukan menjadi beban orang lain," kata dia.

Dalam perjalanan kuliah, ia harus berjibaku menghidupi diri sendiri setelah sang ayah, Lasimun, meninggal. Rasino benar benar diuji oleh situasi ekonomi sulit. Ibunya yang masih hidup pun hanya menjadi buruh tani.

"Saya harus mandiri ketika ayah meninggal saat saya masih kuliah, dan ibu hanya buruh tani. Karena itu, saya sempat bohong kepada ibu bahwa saya sudah mendapatkan pekerjaan tetap sambil kuliah," katanya mengenang.

Semula, ia hanya bekerja serabutan sebagai pemijat tunanetra, dengan membuka praktik di pelataran Stasiun Jebres pada malan hari seusai kuliah. Akan tetapi, cari uang dengan hanya memijat jauh dari cukup untuk hidup, apalagi membiayai kuliah.

Di tengah kesulitan itu, Rasino tiba-tiba kangen untuk berkunjung ke SRPCN di Purworejo. Dari tempat ia menimba ilmu pertama kali itulah, kebiasaannya memainkan seluruh ricikan gamelan menjadi sangat berguna dan bermanfaat bagi sesama.

Kedatangannya ke Purworejo, yang semula hanya ingin melepas kangen, malah berujung ditawari menjadi guru karawitan bagi sesama disabilitas netra. Kebetulan, tempat rehabilitasi Purworejo itu sudah punya seperangkat gamelan baru, tetapi tidak ada pengajarnya.

"Saya langsung menyambut sukacita tawaran Kepala SRPCN Purworejo. Tapi saya tetapkan persyaratan, saya tidak bisa tiap hari karena masih kuliah. Jadilah saya wira-wiri Solo-Purworejo selama 8 tahun sejak 2003 dengan naik bus, tiga kali dalam seminggu," katanya.

Rasino menemukan kebahagiaan tersendiri bisa mengajar sesama penyandang disabilitas netra, meski selama 8 tahun hanya diberi honor dari Rp125 ribu lalu naik bertahap hingga tertinggi Rp160 ribu.

Pada rentang perjalanan kuliah yang berlangsung hampir 11 tahun itu, sambil mengajar paruh waktu di SRPCN Purworejo, ia diminta seorang teman untuk membantu mengajar sebagai guru honorer karawitan di SLB A YKAB Jagalan, Solo.

Tawaran itu ia terima karena di kawasan SLB A YAKB Jagalan itu ia bisa menyalurkan kesukaannya bermain ricikan gamelan bersama para disabilitas netra dalam wadah Yaketuntra (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra).

Keasyikan menyalurkan keahlian menabuh gamelan dan gendang itu semakin membuncah seiring munculnya tawaran untuk menjadi pengiring karawitan, sekaligus melatih anak-anak normal belajar mendalang di Sanggar Sarotama, Pakur, Karanganyar.

"Pada 2009 saya diminta Pak Mujiono, pemilik Sanggar Sarotama, untuk menjadi pengiring karawitan dan sekaligus melatih anak anak normal belajar jadi dalang. Sungguh kebahagiaan yang lengkap bahwa selain mengajar anak anak berkebutuhan khusus juga bisa mengajar anak anak normal," kata Rasino.

 

Guru tidak tetap

Waktu terus berjalan. Seusai menamatkan kuliah pada 2010 dan di tengah kesibukan mengajar di sejumlah tempat itu, Rasino mendapatkan informasi dari putri pemilik Sanggar Sarotama bahwa SMKN 8 Surakarta jurusan pedalangan membutuhkan pengiring gamelan. Itu terjadi pada 2013.

Rasino pun mencoba melamar, dan diterima menjadi pengiring karawitan SMKN 8 Surakarta. Untung pun tidak dapat ditolak. Dalam perjalanan waktu ia ditawari beralih menjadi pengajar karawitan di sekolah tersebut.

"Saya sungguh bahagia dan tidak bisa membayangkan, karena dari awalnya sebagai pegawai tidak tetap beralih menjadi guru tidak tetap sejak 2016 di SMKN 8 Surakarta sampai sekarang. Dari semula menerima honor Rp400 ribu akhirnya mendapatkan gaji sesuai UMR Kota Surakarta," tutur bapak dua anak itu.

Selama menjadi pengajar di SMKN 8 Surakarta, ia pun mendapatkan pengalaman menarik ketika mantan siswanya yang akhirnya menjadi dalang juga menggunakan jasanya untuk mengiringi pementasan pakeliran wayang kulit di sejumlah kota.

Ia mengaku kehidupannya benar-benar menjadi komplet karena sangat bermanfaat dan dibutuhkan banyak orang, yakni menjadikan muridnya lebih pintar dari dirinya dan berhasil menjalani profesi sebagai seniman profesional.

"Saya sungguh bangga bahwa mantan anak didik saya bisa jadi seniman pedalangan. Saya pun katakan kepada anak didik saya, baik itu yang jadi dalang di Pati atau Jepara, agar menularkan ilmunya kepada masyarakat," pungkas pria yang pernah mengiringi Ayu Ting Ting, pelantun lagu Alamat Palsu, dalam sebuah konser khusus di acara televisi swasta tersebut. (N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya