Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Berkisah untuk Menghapus Perbedaan

Fathurrozak
15/7/2021 05:30
Berkisah untuk Menghapus Perbedaan
Novelis muda Natasha Sondakh(Dok. Pribadi)

NATASHA Sondakh ialah novelis muda yang baru saja menerbitkan karya perdananya, She Smells of Turmeric. Novel tersebut bercerita
Cecilia Poetry, perempuan berdarah Indonesia Tionghoa yang lahir dan besar di Amerika Serikat. Setelah ayahnya meninggal, Cecilia memutuskan pindah ke Jakarta, tempat kelahiran sang ayah dan keluarga besarnya berada.

Debut di usianya yang ke-20, Natasha rupanya telah meminati dunia tulis-menulis sedari dulu. Sejak sekolah dasar, ia sudah mengakrabi penulisan kreatif dan rajin menulis cerita pendek maupun puisi.

Di tengah kegiatannya berkuliah daring di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat, novel debutnya dilirik New Digital Press, penerbit independen dengan konsep hybrid yang berbasis di Maryland, AS. 

Muda berkesempatan mewawancarai Natasha pada Rabu (7/7) tentang prosesnya menerbitkan novel dan pandangannya terkait dengan kemungkinan munculnya nama-nama baru di kancah sastra Indonesia.

Kamu menghabiskan 4 bulan untuk She Smells of Turmeric. Apa yang paling menantang dan yang paling menguras tenaga dari prosesnya?
Hal paling menguras tenaga dalam proses menulis She Smells of Turmeric adalah mencari keseimbangan waktu yang tepat supaya bisa menyelesaikan naskahnya, sedangkan waktu yang dihabiskan oleh proses menulis buku sudah cukup banyak, saya masih tetap harus meneruskan kuliah S-1 saya secara online (oleh karena perbedaan waktu antara AS dan Indonesia, kelas saya jatuh pada malam hari WIB). Meskipun akhirnya saya dapat mengatur waktu secara optimal, saya selalu merasa cukup lelah setelah belajar dan menulis seharian.

Namun, rutinitas inilah yang akhirnya mendorong saya untuk mengasah kemampuan menulis saya. Yang tadinya hanya menghasilkan 2.000 kata dalam satu minggu, lama-lama menjadi 10.000 kata seminggu. Jika saya tidak ditekan keadaan, waktu untuk tugas sekolah, dan batas waktu dari penerbit, sepertinya saya tidak akan bisa menyelesaikan penulisan novel ini dalam waktu singkat.

Bagaimana proses novel kamu berjodoh dengan New Degree Press?
Proses pencarian penerbit ialah proses yang tidak mudah. Saya sempat diberikan harapan palsu oleh salah satu penerbit pada 2017.  Mendapat pengalaman seperti itu, membuat rasa percaya diri saya turun dan trauma untuk berhubungan dengan penerbit buku lagi.

Namun, trauma itu hilang, setelah saya dikontak New Degree Press, penerbit hybrid, mereka turut menyempurnakan si penulis dengan tim
penerbitan yang berkualitas. Semua hak cipta karya She Smells of Turmeric sepenuhnya menjadi milik saya.

Sebagai buku perdana, saya merasa sistem hybrid ini cocok dengan buku She Smells of Turmeric karena saya bisa mendapatkan banyak manfaat, mengetahui proses penerbitan buku di luar negeri sekaligus mempelajari industrinya secara lebih detail.

She Smells of Turmeric berkisah Cecilia dalam pencarian akar budaya keluarganya. Apakah itu sedikit banyak diambil dari pengalaman kamu sendiri?
Karena saya ialah pengarang tokoh ini, perasaan yang Cecilia Poetry alami sepanjang pencarian jati dirinya, tentu saja terinspirasi dari perasaan saya sendiri. Namun, latar belakang dan kehidupan kita sangatlah berbeda.

Cecilia adalah WNA yang besar di AS, sedangkan saya adalah WNI yang besar di Jakarta. Jadi saya tidak mengalami tantangan yang dialami Cecilia. Saya pun harus mewawancarai beberapa orang yang sudah pindah dari luar negeri ke Jakarta dan meracik jalinan cerita mereka hingga dapat menghadirkan karakter orisinal dari tokoh Cecilia Poetry.

Sejak kapan kamu mengenal creative writing?
Sejak umur 6 tahun. Ketika masuk SD kelas 1, orangtua tidak memperbolehkan untuk main gim atau gadget pada hari kerja. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan tugas sekolah, saya hanya bisa menghabiskan waktu di sastra—membaca buku atau menulis cerita.

Dengan latihan menulis berharihari dan menerima dukungan dari keluarga dan teman-teman, saya jadi semangat untuk mengembangkan hobi menulis ini untuk menjadi sesuatu yang lebih serius atau yang saya tekuni sampai saat ini.

Waktu kecil sempat menulisbuku tentang anjing kamu?
Betul. Pada saat saya berusia 6 tahun, saya menulis cerpen bertajuk The Three Superstars, tentang tiga anjing saya. Setelah menyelesaikan proses menulis dan menggambar kover buku, menggunakan krayon dan spidol, saya melipat lembaran kertas A4 itu supaya karyanya terlihat seperti sebuah buku.

Bagaimana kamu melihat posisi sastra Indonesia di global?
Sejauh ini, saya merasa posisi sastra Indonesia kurang kuat kalau dilihat secara global. Saya jarang mendengar anak muda Indonesia yang dikenal melalui sastra global. Meskipun di industri hiburan, beberapa artis muda Indonesia seperti Rich Brian dan Joey Alexander dikenal publik, tetapi perwakilan Indonesia tergolong kecil jika dibandingkan dengan perwakilan negara Asia lainnya.

Saya percaya posisi sastra Indonesia akan kian meningkat ke depannya. Pada awal tahun ini, Jesse Q Sutanto, penulis Indonesia, menerbitkan novel fiksi di AS dan Inggris bertajuk Dial a With Aunties yang akan diadaptasi ke film produksi Netflix. Berita ini seperti membuka kesempatan bagi kita untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat dunia.

Menurutmu, seperti apa potensi munculnya nama-nama baru dalam kancah sastra Indonesia?
Saya melihat akan ada banyak nama baru bermunculan di dunia sastra Indonesia dan segera bisa bersaing di pasar global, jika ada dukungan dari masyarakatnya. Kita bisa melihat artis-artis dari Korea Selatan yang mendunia saat ini, tentu tidak lepas dari dukungan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat yang ada di Korea Selatan.

Demikian pula, Indonesia juga bisa berjaya dan memiliki kesempatan yang sama jika memberikan kesempatan kepada banyak seniman muda berpotensi yang ada di Tanah Air.

Apakah kamu melihat dunia tulis-menulis ini sudah ramah untuk perempuan penulis?
Secara pribadi saya melihat industri ini memberikan banyak akses dan kesempatan bagi banyak penulis perempuan, termasuk saya. Begitu pula dengan mayoritas pembaca buku yang didominasi kaum perempuan.

Namun, memang harus diakui ada isu-isu yang dapat mempersulit penulis perempuan dalam berkarya, di antaranya jangkauan publikasi buku dan kompensasi. Menurut saya, ini sangat disayangkan, karena jika kesempatan seluasluasnya diberikan kepada para penulis perempuan, tidak menutup kemungkinan akan semakin kaya ragam karya sastra berkualitas yang dapat dinikmati tidak hanya masyarakat Indonesia, tapi juga dunia.

Kamu juga mengintensikan novel kamu sebagai upaya untuk lebih mengenalkan dunia Barat kepada Indonesia. Apa memang kamu merasakan masih banyak ketidaktahuan atau stereotip dari orang luar terhadap Indonesia?
Dari pengalaman saya, banyak orang Barat mengenali Indonesia dan berbagai negara di Asia Tenggara sebagai negara yang ketinggalan zaman. Waktu saya kecil, saya sering ditanya apakah Indonesia punya wi-fi atau AC yang dingin. Ada teman saya yang juga menanyakan apakah orang Indonesia pernah melihat kertas A4. 

Ada juga yang bingung saat saya menceritakan punya akun Netflix dan pernah makan di restoran yang menjual cheese burger di Indonesia. Karena pengalaman masa kecil itulah, saya menulis She Smells of Turmeric. Saya percaya, Indonesia harus punya representasi di sastra Barat. WNA tidak akan tahu keindahan negara kita maupun perjuangan atau tantangan yang dialami masyarakat Indonesia kalau tidak ada yang menceritakannya.

Beberapa waktu lalu juga sempat mencuat sejumlah peristiwa rasialisme terhadap komunitas Asia di AS. Bagaimana ini memengaruhi karyamu?
Selain kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di AS pada tahun lalu, banyak orang Asia mengalami rasialisme lewat berbagai cara. Mikroagresi, stereotip, dan sikap merendahkan yang saya dan banyak teman Indonesia alami di luar negeri juga termasuk bentuk rasialisme.

Saya sangat marah, frustrasi, dan kecewa dengan perlakuan dan kekerasan yang dilakukan beberapa kelompok terhadap komunitas Asia. Perasaan ini mendorong saya untuk terus berkarya, menulis, dan berjuang supaya masyarakat dunia bisa memahami, orang Asia sama seperti mereka.

Saya berharap kisah-kisah terkait dengan budaya Indonesia yang tertuang di buku She Smells of Turmeric bisa membangkitkan semangat kebersamaan dan menghilangkan perbedaan atau sentimen negatif terhadap orang Asia, khususnya Indonesia.

Setelah She Smells of Turmeric, apa rencana untuk karya selanjutnya?
Sebetulnya impian saya sejak umur 6 tahun untuk menjadi penulis novel sudah tercapai. Lagi pula, tujuan saya ketika menerbitkan
buku She Smells of Turmeric untuk menjadi bestseller dan #1 New Release di Amazon juga sudah tercapai. Saat ini, saya sangat bersyukur karena Tuhan sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk menulis dan menerbitkan She Smells of Turmeric.
 
Sementara itu, feedback dari buku She Smells of Turmeric terus berdatangan, saya masih sibuk fokus menyelesaikan kuliah S-1 saya,
sekaligus mematangkan ide untuk karya selanjutnya.

Terakhir, sepanjang perjalanan profesional kamu sebagai penulis, apa yang menjadi pembelajaran buatmu?
Sebagai perempuan berusia 20 tahun, saya tentunya mempelajari banyak hal dalam 14 tahun terakhir ini. Tantangan yang saya lalui,
mengajarkan kalau kita berjuang untuk diri sendiri. Oleh karena itu, saya belajar untuk meredam omongan-omongan dan ketakutan dan memilih berfokus untuk menggapai impian, juga berkat support system yang ada di sekitar saya, dan terus berjuang sehingga tujuan saya tercapai. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya