Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
TIDAK banyak ilmuwan politik yang mampu 'memasarkan' gagasan mereka dengan bahasa sederhana, populis, dan mudah dicerna. Dari yang sedikit tersebut, M Alfan Alfian salah satu di antaranya.
Melalui berbagai tulisannya di sejumlah media massa, doktor ilmu politik lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu mampu menghadirkan ide maupun kritik tentang politik dengan kalimat yang mudah dipahami baik oleh pembesar politik maupun kalangan awam.
Kekuatan itu pula yang ia tunjukkan melalui buku ketujuh yang ia tulis, yang berjudul Wawasan Kepemimpinan Politik dengan Judul Kecil Perbincangan Kepemimpinan di Ranah Kekuasaan. Melalui buku itu, Alfan yang kini Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional itu hendak mengajak pembaca untuk mengenali dunia politik yang kerap dilukiskan amat rumit, penuh paradoks, dan intrik dengan bahasan yang enteng, renyah, dan unik, tapi bukan berarti enteng-entengan.
Itu disebut unik karena Alfan menggunakan metode tanya jawab. Penulis sendiri yang bertanya, kemudian ia pula yang mengurai jawabannya. Alfan menyebut metode tanya jawab itu terinspirasi pada teknik propaganda politik Tan Malaka. Dengan tanya jawab, sejauh mungkin penulis berbicara dengan bahasanya untuk menjelaskan banyak hal secara rileks. Alhasil, pembaca bisa menikmati buku ini sambil ongkang-ongkang kaki.
Untuk menambah 'lezat' menu tulisan, Alfan yang semasa mahasiswa pernah menjadi Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam PB HMI ini memasukkan novel sebagai salah satu referensi. Ia, misalnya mencuplik novel karya peraih Nobel asal Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, sebagai pengingat bagi siapa pun yang memilih jalan politik sebagai medan 'perjuangan' dan 'pengabdian'.
Novel El General en su Laberinto (1989) atau Jenderal dan Labirinnya Alfan cuplik untuk menjadi refleksi agar pemimpin memahami kemungkinan jatuh dalam 'perangkap politik' ataupun labirin yang sejatinya diciptakan sendiri. Labirin pertama ialah janji kampanye. Janji itu serupa adagium milik Rene Descertes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) yang dalam kamus politisi menjadi: aku berjanji, maka aku ada. Itu mirip pula dengan sindiran Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev (1958-1964) yang menyebut, 'politisi itu semua sama: mereka janji membangun jembatan meskipun tak ada sungai'.
Perangkap lainnya ialah sikap dan kebijakan pemimpin yang menerobos kebuntuan. Setiap terobosan menyisakan konsekuensi atau risiko yang bahkan bisa berujung pada kejatuhan dirinya dari kursi kekuasaan. "Pemimpin itu ialah pengambil kebijakan, dan itu artinya ia berhadapan dengan besarnya risiko," tulis Alfan (hal 30).
Alfan seperti hendak meneguhkan postulat bahwa politik dan kekuasaan serupa dua sisi dari satu mata uang yang sama. Seseorang yang memilih jalan politik, mustahil tidak memimpikan kekuasaan. Namun, banyak yang kerap melupakan petuah bijak bahwa kekuasaan itu bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan akhir: kesejahteraan rakyat. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, ia berubah menjadi labirin yang bisa membuat sang empunya kuasa itu terjerembap.
Pemandu politik
Agar kekuasaan tidak justru menjerumuskan seseorang, tulis Alfan, dibutuhkan pengelola sekaligus pemandu dan pengendali. Pengendali itu disebut dengan kepemimpinan. Kepemimpinan bukan sekadar relasi antara pemimpin (leader) dan yang dipimpin (follower), melainkan upaya membimbing anggota (yang dipimpin) mencapai tujuan bersama (hal 130).
Buku ini mempertegas pernyataan bahwa pemimpin dan kepemimpinan mampu menjadikan politik serupa seni sekaligus menjadikan kekuasaan yang dimiliki bisa berjalan efektif. Sebaliknya, tanpa kepemimpinan, politik akan dipenuhi absurditas, paradoks, intrik, dan nafsu berkuasa yang kelewat dosis sehingga berubah menjadi tiran.
Melalui buku ini, Alfan hendak mengajak kita untuk mengenali absurditas politik sekaligus menengok kembali wajah mulia dari politik jika ia menemukan pemandu yang tepat. Mengutip pernyataan sejarawan Kuntowijoyo: politik harus didemistifikasi atau dibebaskan dari mitos yang membuat pelakunya berkacamata kuda. Itu semua agar orang yang berpolitik tidak menjadi miopia, hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam jangka pendek. Melalui kepemimpinan politik, kekuasaan bisa dikelola dengan baik dan terbebas dari pelaku yang berkacamata kuda. Dengan begitu, tujuan mulia politik sebagai jalan menuju bonum commune (menghadirkan kebaikan bagi sesama) bisa terwujud. Karena itu, bagi politisi, pemangku kekuasaan, atau siapa pun yang tertarik bergelut di dunia politik, buku ini bisa menjadi 'buku saku'. Namun, karena tebalnya mencapai 679 halaman, sebutan yang lebih cocok sepertinya 'buku jinjing' tentang kepemimpinan politik. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved