Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Hak Edar Rompi Warsito Dijual

Fetry Wuryasti
14/4/2016 04:50
Hak Edar Rompi Warsito Dijual
(Ilustrasi)

PEMERINTAH dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) akan tetap mempertahankan rompi antikanker berbasis electrical capacitance volume tomography (ECTV) temuan Dr Warsito P Taruno berlabel buatan Indonesia meski hak edar du­nianya dimiliki Singapura.

“Kami sudah mengembangkan risetnya di seluruh rumah sakit pendidikan Indonesia seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Airlangga. Yang sedang dilakukan uji klinisnya, selanjutnya akan dipikirkan alternatif yang akan kami lakukan,” ujar Menristek dan Dikti M Nasir, Rabu (13/4).

Pernyataan Nasir itu menanggapi kabar adanya keputusasaan Warsito setelah klinik terapi antikankernya ditutup sementara oleh Kementerian Kesehatan dan akhirnya dia menjual risetnya ke Singapura untuk pengembangan maupun produksi edar ECVT ke seluruh dunia.

Permasalahan terjadi karena Singapura ingin penetapan label alat temuan War­sito itu sebagai buatan Singapura meski produksi dilakukan di Indonesia. Menurut Nasir, meski hasil risetnya dijual ke Singapura, label ECTV harus tetap kembali ke Indonesia.

Seperti diberitakan sebe­lumnya, alat terapi kanker temuan Warsito yang berkekuatan medan listrik voltase rendah dan menghambat pertumbuhan sel kanker diklaim dapat memperpanjang hidup sekitar 300 pasien sejak dikembangkan pada 2003.

Alat terapi Warsito yang berupa rompi dan tudung kepala bernama Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) itu bekerja dengan mengeluarkan medan listrik bervoltase rendah. Hanya sel yang memiliki tingkat kelistrikan tinggi, dalam hal ini sel kanker yang terpengaruh, terutama daya­nya akan lebih tinggi saat pembelahan sel.

“Karena (medan listrik) yang dipaparkan sangat rendah, yang terpengaruh hanya sel kanker, sedangkan sel normal hanya terpengaruh 1/20 dari sel kanker,” kata lulusan pendidikan doktoral Teknik Elektro Shizouka University Jepang itu dalam suatu kesempatan.

Selain itu, biaya pembuatan rompi untuk kanker payuda­ra, paru-paru, dan tudung antikanker untuk kanker otak terbilang murah jika dibandingkan dengan kemoterapi penyembuhan kanker pada umumnya, yakni berkisar Rp7 juta-Rp10 juta. Jauh dari harga alat impor.

Sejak alat itu dipatenkan di awal 2012, pasien Warsito men­capai 6.000 orang dengan ca­tatan konsultasi 50% di an­taranya membaik, 40% stagnan atau sel kanker bisa ditahan, dan 10% lainnya tidak ada respons.


Uji klinis

Temuan Warsito tersebut, untuk dapat diterima dan di-terapkan di dunia kedokteran harus menghadapi prosedur medis, di antaranya uji klinis. Badan Litbang Kesehatan Kemenkes telah menyatakan alat terapi kanker yang dikembangkan Warsito belum melalui uji klinis.
Alasannya selama ini, se­buah penelitian selalu melalui tahapan-tahapan, misalnya uji kepada hewan dan manusia.

Untuk uji ke manusia pun, ada tiga fase yang harus dilalui. Hasil evaluasi tim review yang terdiri dari Kemenkes, Kemenristek dan Dikti, LIPI, dan Komite Penanggulangan Kanker Nasional juga menyatakan alat terapi kanker ECCT milik Warsito belum bisa di­simpulkan keamanan dan manfaatnya. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya