Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
PENERAPAN gerakan pengurangan sampah plastik melalui mekanisme plastik berbayar sudah melewati tahap evaluasi. Dalam laporan kasar, baru 60% dari 23 pemerintah daerah (pemda) yang secara aktif menggenjot program itu, sedangkan 40% sisanya terkesan tak peduli terhadap program tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), R Sudirman, saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (5/4).
Sudirman mengatakan keaktifan pemda sebagai inisiator plastik berbayar menjadi salah satu indikator dalam evaluasi yang dilakukan setiap satu bulan selama masa percobaan hingga Juni.
Oleh karena itu, Kementerian LHK sudah melakukan komunikasi dengan pemda yang pasif untuk kembali mengingat komitmen yang sudah ditandatangani.
“Pemda itu kan harusnya mengedukasi warga, menyebarkan leaflet, dan memberikan pengertian mengenai tujuan dari program ini. Bahkan ada kota aktif yang memberikan kantong belanja pakai ulang secara gratis kepada warganya,” terang Sudirman.
Meskipun masih ada pemda yang tidak aktif dalam program tersebut, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), melalui gerai ritel yang berada di 22 kota dan 1 provinsi proyek percontohan, mendukung program plastik berbayar secara penuh. “Itu harus diapresiasi, secara keseluruhan, tidak ada masalah dari peritel,” ucap Sudirman.
Bahkan, Kementerian LHK telah meminta Aprindo menyediakan pilihan berupa kardus bagi konsumen yang tidak mau membeli plastik.
Kritik membangun
Meskipun secara resmi hasil evaluasi baru akan dibuka kepada publik lusa, Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira yang juga membantu evaluasi menemukan kritik membangun dari masyarakat terhadap pelaksanaan plastik berbayar.
Salah satunya menyinggung mengenai peran pemda dalam sosialisasi. Pasalnya, beberapa kasir dari ritel yang menerapkan kantong plastik berbayar menyatakan belum ada pengertian secara masif mengenai tujuan kantong plastik tidak gratis sebagai salah satu cara mengurangi konsumsi plastik. “Rata-rata kasir masih menerima pertanyaan untuk apa plastik dibayar, dan ke mana uangnya,” terang Tiza.
Jangan bebani konsumen
Di lain hal, Kepala Balai Teknologi Polimer BPPT Dody Andi Winarto menyatakan pengelolaan sampah, khususnya sampah plastik, mestinya terintegrasi seperti diamanatkan dalam Undang- Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“Misalnya, dalam penggunaan plastik berbayar seharusnya masalah tentang sampahnya tidak semata dibebankan pada konsumen, (tetapi) juga produsen plastik tersebut,” kata Dody pada workshop plastik di Puspiptek, Serpong, Tangsel, Selasa (5/4).
Dody berharap UU 18 Tahun 2008 turut membantu memecahkan masalah sampah di Tanah Air peraturan pemerintahnya (PP) belum terbit. “Jika ada PP-nya semoga tidak simpang siur untuk mengurangi masalah sampah terutama sampah plastik,” cetusnya. (Bay/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved