Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
DALAM dunia medis, autisme masih menyimpan banyak misteri. Apa penyebabnya tak diketahui pasti hingga kini. Karena itu, belum ada teknik spesifik untuk mencegahnya.
Setiap orangtua ataupun calon orangtua sebaiknya memahami autisme. Agar ketika sang buah hati terkena gangguan itu, orangtua tidak terpuruk dalam kesedihan, tetapi bisa memberi dukungan bagi si kecil.
“Bersedih boleh saja, namanya juga manusia, tapi jangan berlarut-larut. Orangtua harus mengutamakan masa depan anak,” ujar dokter spesialis kesehatan jiwa konsultan psikiatri anak dan remaja, Ika Widyawati, dalam diskusi media terkait 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Dunia, di Jakarta, pekan lalu.
Kerap kali, lanjut Ika, orangtua yang anaknya didiagnosis mengidap autisme akan berkutat mencari-cari kesalahan di masa lalu.
Misalnya, menyesal ketika hamil mengonsumsi makanan tertentu atau melakukan sesuatu yang mereka duga sebagai biang penyebab.
“Padahal, penyebab spesifik autisme hingga kini masih misteri. Lebih baik tutup lembaran masa lalu yang sudah tidak mungkin diperbaiki. Siapkan diri untuk si anak yang pasti butuh dukungan kita,” imbau psikiater anak dari Rumah Sakit Pondok Indah Group itu.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dukungan orangtua idealnya dilakukan sedari awal dengan mengetahui tanda-tanda autisme pada anak. Gejala autisme akan muncul sebelum anak berusia 3 tahun (lihat grafik). Cermati perilaku si anak, bila orangtua mendapati tanda-tanda itu, sebaiknya periksakan ke dokter.
“Diagnosis autisme dilakukan berdasarkan gejala klinis yang muncul, tidak ada pemeriksaan laboratorium maupun radiologi untuk mendiagnosis autisme.”
Jika anak didiagnosis autisme, lanjut Ika, anak mungkin memerlukan terapi. Terapi itu dapat berupa obat-obatan, terapi perilaku, atau kombinasi keduanya, disesuaikan dengan kondisi si anak.
“Semakin dini autisme dideteksi dan diterapi, akan semakin baik hasilnya. Usia 0-3 tahun merupakan masa emas tumbuh kembang anak. Masa ketika tumbuh kembang fisik dan otak sangat cepat dan tidak mungkin terulang. Kita harus maksimalkan. Jangan sampai masa itu terlewatkan karena gangguan autisme yang tidak ditangani dengan baik,” tutur Ika yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Terapi obat-obatan, lanjutnya, diberikan pada anak-anak pengidap autisme yang mengalami gangguan emosi dan perilaku berat, seperti perilaku agresif, temper tantrum, impulsif, hiperaktif, perilaku berulang-ulang, kesulitan fokus (atensi), dan insomnia.
Jenis obat-obatan yang dipakai antara lain risperidone dan ariprazole. Obat-obatan itu bekerja menekan produksi dopamine, zat penghantar impuls saraf di otak. “Berdasarkan penelitian diketahui, pada otak anak penyandang autisme ada ‘banjir’ dopamin. Obat-obatan itu berfungsi mengurangi produksi dopamin tersebut.”
Dosis penggunaan obat-obatan itu disesuaikan dengan kondisi anak-anak. Dosis akan diturunkan jika perkembangan anak positif. “Jadi, tidak ada istilah pemberian obat seumur hidup. Semua disesuaikan dengan kondisi anak.”
Demikian juga dengan terapi perilaku, diberikan sesuai kebutuhan anak, mengingat spektrum autisme begitu luas, dari yang ringan hingga berat. Umumnya, pengidap autisme akan mendapatkan terapi sensori integrasi untuk meningkatkan kemampuan otak dalam mengolah berbagai rangsang yang ditangkap pancaindra, terapi wicara untuk meningkatkan kemampuan bicara anak, terapi okupasi untuk memperbaiki gerak motorik halus, serta terapi remedial edukasi untuk meningkatkan kemampuan belajar anak.
Ika menegaskan, sejauh ini, terapi perilaku dan obat-obatan itulah yang didukung dengan bukti-bukti saintifik (evidence based emidicine/EBM). Bagaimana dengan terapi lainnya seperti terapi perilaku ABA (applied behavior analysis) yang begitu populer?
Menurut Ika, terapi perilaku ABA masih memerlukan penelitian lebih lanjut efektivitasnya. Pun demikian dengan terapi biomedik seperti diet CFGFSFS (casein free, gluten free, sugar free), kelasi, dan suplementasi vitamin maupun zat lainnya. Terapi jenis itu belum didukung bukti ilmiah yang kuat untuk direkomendasikan sebagai pengobatan autisme.
“Terapi lain seperti oksigen hiperbarik dan akupunktur juga begitu. Kalau terapi itu memang terbukti efektif, kami para dokter tentu akan ramai-ramai menerapkannya pada pasien,” imbuh Ika.
Bukan karena vaksin
Pada kesempatan itu, Ika juga menegaskan bahwa vaksinasi bukanlah penyebab autisme. Isu yang beredar di masyarakat bahwa vaksin MMR (measles, mumps, and rubella) menyebabkan autisme sungguh keliru. Vaksinasi yang diberikan pada saat anak berusia 1,5 tahun itu bermanfaat mencegah penyakit campak, gondongan, dan campak jerman.
“Gara-gara isu itu, banyak orangtua takut dan melewatkan vaksinasi MMR untuk anaknya. Padahal, vaksinasi merupakan penemuan ilmiah yang sangat besar manfaatnya karena mencegah anak dari penyakit-penyakit berbahaya.”
Ia mengungkapkan, di antara berbagai tipe autisme, ada yang bertipe regresi. Anak yang terkena autisme jenis itu, awalnya bertumbuh kembang normal, lalu mengalami gejala-gejala autisme di usia tertentu.
“Nah, mungkin karena ada kasus anak yang tadinya normal lalu mendadak autisme di usia 1,5-an tahun, dikira vaksin MMR yang jadi penyebabnya. Padahal, tanpa divaksin MMR pun, ketika anak mengalami autisme tipe regresi, dia akan mengalami gejala-gejala autisme. Jadi, jangan takut vaksinasi,” tegas Ika. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved