Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Tuhan Ciptakan Keajaiban Buat Apit

Anis Septiani, Guru SDN Ciandong, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Fasilitator Program Pintar Tanoto Foundation
06/2/2021 19:00
 Tuhan Ciptakan Keajaiban Buat Apit
Anis Septiani dan anak-anak didiknya.(Dok pribadi)

SEPERTI kata pepatah kita tak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana dan dalam kondisi seperti apa. Tak ada seorang pun juga yang ingin dilahirkan berbeda. Apalagi kerap dihakimi dalam perbedaan. Itulah kondisi yang dihadapi Khafid Ardiyanto, siswa sekolah dasar di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebelum hadirnya pandemi covid, sosok yang akrab disapa Apit ini dikenal sebagai siswa yang bersemangat. Meski selalu dicap berbeda oleh teman-temannya, tak menyurutkan semangat dia untuk datang ke sekolah. 

Kelahiran Apit di tengah-tengah keluarga Jamal, semestinya menjadi momen yang membahagiakan. Kebahagiaan keluarga ini terusik manakala pada 2006 dokter mendiagnosis Apit menderita hidrosepalus (penumpukan cairan di rongga otak). Kedua orang tuanya tak pernah menyangka, bahwa putra bungsunya ini menderita penyakit yang asing di telinga mereka. Bebagai upaya terus dilakukan demi kesembutan putra tercinta. Apapun rela mereka lakukan demi kesembuhan Apit. Akhirnya kepala Apit harus dioperasi dan dipasangi selang khusus untuk terus mempertahankan nyawanya.

Tahun berganti tahun kondisi kepala Apit kian membaik. Ukuran kepala Apit yang tak sesuai anak seusianya, memberikan kenyataan pahit. Ia pun harus menghadapi dan mengalami perlakuan berbeda dari teman-temannya. Jadi sasaran cemoohan bukan hal baru bagi Apit. Satu-satunya hal yang dilakukan hanyalah tertawa, walau berkecamuk rasa kesal dalam diri.

Penyakit menahun yang diderita Apit menjadikan ia berbeda dengan teman-temannya. Apit kesulitan mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah. Bukannya Apit tak rajin belajar, namun kedua belah otaknya terlampau lemah dalam mencerna informasi. Dapat hidup sehat dan beraktivitas seperti anak lainnya, cukup menjadi anugerah luar biasa bagi dia.

Jika anak seusianya kini sudah menduduki bangku menengah pertama, Apit harus rela berlama-lama di sekolah dasar. Kemampuannya mengikuti pelajaran tak sebanding dengan percepatan tinggi tubuhnya. Di usia yang menginjak 15 tahun, Apit belum bisa membedakan deretan huruf. Begitu pula dengan deretan angka. Semua itu tak serta merta mudah tercerna dalam ingatannya.

Apit akan mulai menggeleng-gelengkan kepala jika merasa lelah belajar. Memang ia tak bisa berlama-lama duduk manis di dalam kelas. Ia lebih asyik dengan memunguti sampah di depan kelas atau malah merapikan buku perpustakaan. Semua itu sungguh menjadi hal menyenangkan bagi Apit. Apit mungkin tak pandai bermain kata, tak pandai pula mengurai makna. Ia pun tak pandai berlogika lewat jejeran angka. Di balik itu semua, Apit dikenal sosok yang sangat mahir bertata krama. Menyapa sesama menjadi tugas wajib yang harus Ia kerjakan.

Selama ini, Apit tak pernah peduli manakala orang yang disapa kerap mengacuhkan. Ia tak pernah paham akan hal itu dan tidak ingin juga ambil pusing. Bagi jiwa Apit yang begitu polos, menyapa orang lain merupakan separuh dirinya. Dari hari ke hari, jiwa tulus Apit selalu merasakan haus untuk menyenangkan orang lain. Meski tak sedikit orang yang abai akan ketulusannya itu.

Di masa pandemi ini, Apit lebih banyak berdiam diri di rumah. Bukannya tak rindu belajar, namun sistem pembelajaran jarak jauh tak sesuai dengan dirinya. Belajar dengan gawai sungguh melelahkan bagi anak seperti Apit. Menurut Apit berlama-lama di dunia maya hanya akan membuat hatinya kerontang. Ia pun lebih memilih belajar langsung dari kehidupan bersama dengan orang tuanya. Karena bagi Apit, belajar tak selalu tentang membaca dan berhitung. Tak perlu materi yang rumit untuk menjadi pintar. Baginya cukup memiliki hati yang lapang untuk mampu belajar tentang kehidupan.

Beberapa peristiwa tak menyenangkan pernah dihadapi, lagi-lagi lewat tempaan teman-temannya dan memaksa Apit menjadi sosok yang tegar. Apit bukan tak pernah mengeluh dengan segala keterbatasan dirinya. Hatinya bukan sekeras karang yang selalu kokoh diterjang ombak. 15 tahun bukan waktu yang sebentar bagi bocah ini merasakan pasang surut kehidupan.

Tapi kuasa Tuhan selalu ada di dalam kehidupan ini. Lewat kuasaNya yang tak bertepi, DIA menciptakan keajaiban di balik segala kekurangan Apit. Siapa sangka, Apit pernah menjuarai lomba menggambar siswa anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Tak pernah sedikit pun impian itu ada dibenak Apit. Gelar juara itu menjadi amunisi luar biasa karena semangat Apit kembali membara. Kini ia tak pernah peduli lagi dengan anggapan teman-temannya. Yang ingin ia lakukan hanyalah terus berbuat baik bagi sesama.  

Meski selalu dianggap berbeda, Apit juga memiliki cita-cita. Seusai menamatkan sekolah dasar, ia ingin banyak belajar ilmu agama di pondok pesantren. Keinginannya tak muluk-muluk karena Apit hanya ingin menjadi manusia yang berguna. Sebab Apit percaya bahwa manusia yang paling sempurna adalah yang bermanfaat bagi lainnya.

Anis Septiani, Peserta Peningkatan Skill Menulis bagi Tenaga Pengajar Se-Indonesia



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya